1. Berdirinya SDI ( Syarikat Dagang Islam )
Syarikat Dagang Islam di
dirikan di Solo, pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Kyai Haji Samanhudi di bantu
oleh M. Asmadimejo, M. Kertokirono daqn M. Haji Rojak. Motif utma didirikannya
organisasi ini adalah berusaha menerapkan sistem ekonomi islam di dunia
Perdagangan Indonesia. Khususnya bagi pedagang batik di Solo. Menjelang lahirnya
SDI, terjadi diskriminasi tajam yang sengaja di lakukan piak bangsawan kepad
masyarakat biasa. Juga sangat menonjol sikap angkuh dan superioritas dari
kalangn pedagang pedagang yang banyak mendominasi perdagangan pada saat itu.
Maka SDI di maksudkan sebagai benteng utuk menentang si Superioritas dan
dominasi Pedagang-pedagang Cina sekaligus mendobrak diskriminasi bangsawan yang
bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat awam. Sesungguhnya di dalam jiwa
pendiri SDI ini terkandung maksud yang lebih jauh lagi, yaitu ingin menegakkan
Islam sebagai satu satunya sistem yang berlaku di bumi Indonesia
Namun
karena terbatasnya kemampuan beliau di tambah pula dengan kondisi penjajahan
yang sangat keras dan ganas dalam mengawasi dan menghambat setiap bentuk gerakan
bangsa Indonesia, maka Untuk sementara waktu Beliau ( Kyai Haji Samanhudi )
hanya berorientasi pada masalah ekonomi saja. Meswki demikian SDI tetap di
anggap sebagai ( Miqod = awal pemberangkatan / Starting point ) bagi perjalanan
sejarah ini. Menyadari akan keterbatasan kemampuan ini, Kyai Haji Samanhudi
selalu mencari dan menghubungi tokoh tokoh Islam lainnya untuk di ajak bersama
sama mengelola lembaga perjuangan ini. Sekitar bulan Mei 1912. SDI memperoleh
seorang tokoh tangguh yang ikut mewarnai perjalanan Sejarah ini, yaitu Haji Umar
Said Cokroaminoto setelah ada persesuaian antara keduanya dalam pandangan
mengenai garis garis perjuangan Sunnah Rasulullah SAW.
2. Masa Peralihan
Pada SI ( Syarikat Islam )
Setelah HOS Cokroaminoto bergabung ke dalam
SDI, beliau mencoba menyusun sebuah anggaran dasar organisasi yang dapat di
berlakukan di seluruh Indonesia dengan tidak memperhatikan persyaratan dari
residen Surakarta yang gigih menghambat perkembangan organisasi tersebut. Beliau
mengemukakan untuk membentuk pan Islamisme, artinya membentuk dunia (
Khalifatullah fil ardi ) untuk merealisasikan gagasan itu beliau membagi tahapan
tahapan perjuangan sebagai berikut :
1. Kemerdekaan Indonesia (
mengusir pihak penjajah dari bumi Indonesia )
2. Kemerdekaan Islam
Indonesia, artinya Islam sebagai satu satunya sistem yang haq bisa berlaku di
Indonesia dengan sempurna dan di lindungi oleh kekuasaan ( Negara Islam
Indonesia ).
3. Kemerdekaan di seluruh Dunia, artinya membentuk Khalifah
fil ardi / struktur pemerintahannya memberlakukan hukum Islam sebagai penjabaran
dari mulkiyah-tullah / Kerajaan Allah di muka bumi.
Langkah lanjut dari
gagasan tersebut maka pada tanggal 11 Nopember 1912 SDI di ganti dengan nama
Syarikat Islam (SI) yang orientasinya bukan sekedar masalah masalah ekonomi
saja, melainkan sudah mencakup kepada seluruh Manhijul hayal, ( meliputu segala
aspek kehidupan untuk di warnai dengan corak Islam saja ).
Dalam kongres
SI pertama di Surabaya tahun 1913 telah di putuskan untuk membantu cabang
cabangnya di seluruh tanah air yang di bagi tiga wilayah, yaitu wilayah Jawa
Barat ( meliputi Sumatera dan pukau sekitarnya), Jawa Tengah ( meliputi
Kalimantan ) dan Jawa Timur ( meliputi Sulawesi, Bali, Lombok dan
Sumbawa).
Kemudian pada tahun tahun berikutnya bergabung pula beberapa
tokoh Islam lainya. Inilah tokoh tokoh yang banyak berperan aktif pada tahun
tahun awal sejak berdirinya SI
Kepribadian HOS Cokroaminoto menampilkan
sikap tidak pernah kompromi terhadap kolonia Belanda. Beliau lahir di Bakur,
Madiun Jawa Timur, pada tanggal 16 Agustus 1882 dari keluarga yang taat kepada
Islam. Beliau pernah belajar administrasi Pemerintahan, serta mengikuti kursus
kursus dalam soal teknik mesin. Sikap HOS Cokroaminoto yang tegas terhadap orang
orang Kafir ( dalam hal ini pihak Belanda ), ini di buktikan ketika beliau di
panggil oleh pemerintah Belanda untuk menghadap, dengan tegap dan menampilkan
sikap ksatria da hadpan orang Bekanda, tidak seperti sikap orang orang pribumi
pada umumnya yang apabila menghadap Belanda harus duduk di lantai tidak boleh
duduk di kursi serta dilarang memakai alas kaki. HOS Cokroaminoto menyadari hal
itu, yakni suatu penghinaan terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas Islam oleh
pihak Belanda yang Nasrani.
Kira kira lima tahun pertama sejak HOS
Cokroaminoto bertindak sebagai ketua, dia banyak menyumbangkan pikiran demi
kemajuan Syarikat Islam. Dalam anggaran dasar yang beliau susun, banyak mewarnai
kehidupan Syarikat Islam berikutnya, sehingga dalam anggaran dasarnya pun
Syarikat Islam secara keseluruhan ( Kaffah ) mencakup semua aspek kehidupan baik
secara pe4mahaman Aqidah Islam, Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya dan
Pemerintahan menurut tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rasul
Untuk
merealisasikan gagasan membentuk dunia Islam ini. HOS Cokroaminoto mempersiapkan
Kader kader militan yang terdiri dari mahasiswa mahasiswa yang berjiwa
progresif. Diantaranya Soekarno yang di harapkan dapat menghimpun dan mengelola
kaum Intelektual serta Cendikiawan dalam satu wadah dan satu arah dalam
menentang penjajah. Semaun di arahkan untuk memyadarkan masyarakat awam dan akan
kepenyingan kemerdekaan sekaligus melibatkan perjuangan dalam menentang
penjajah. Sementara SM Kartosuwiryo di tugaskan untuk mempengaruhi para Ulama
dan para Kyai untuk di ajak bersama sama dalam menyegakkan Al Islam menjadi satu
satunya sistem hidupm di Indonesia. Meski akhirnya, keduanya kader yang pertama
yaitu Soekarno dan Semaun beberapa tahun kemudian menyimpang dari garis garis
Syarikat Islam. Lalu membentuk wadah baru yang tidak berdasarkan Islam dan tidak
berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah.
Selama di bawah kepemimpinan HOS
Cokroaminoto, SI di seluruh daerah mencapai 435 cabang di dukung oleh jutaan
anggota. Sampai akhirnya kegemilangan SI mulai menurun pada periode-periode
berikutnya dengan terdapatnya perselisihan-perselisihan pendapat dalam intern
pimpinan yang berakibat munculnya berbagai partai dan organisasi lain yang tidak
sejalan dengan syarekat islam.
3. Awal Perpecahan Dalam
SI
Malapetaka ini bermula dengan hadirnya dua orang belanda yang bernama
Henricus Yosephus Fransiciscus Marie Sneevliet dan Adolf Baars yang datang ke
indonesia pad tahun 1913. Pada mulanya ia bekerja sebagai pimpinan redaksi “
Hardels Blad” Surabaya selama dua bulan. Kemudian menjadi sekretaris K.D.S.
(Kamar Dagang Semarang) pada tahun yang sama. Keduanya kader-kader komunis yang
telah dididik di negri Rusia. Kemudian mereka mendirikan ISDV (Indische Sociaal
Democraticehc Vereneging) pada tahun 1914 di semarang, yang merupakan partai
sosialis kemudian berkembang menjadi partai komunis terutama setelah berhasilnya
revolusi Rusia pada tahun 1917.
Menurut analisis tokoh tokoh SI,
munculnya ISDV yang di kembangkan pleh dua orang Belanda tersebut adalah
meruoakan usaha pemerintah Belanda untuk mengoncangkan kesetabilan SI, sekaligus
pemecah belah dari akar tubuh SI karena pemerintah memang khawatir dengan
semakin kuatnya posisi SI ini. Usaha Sneevliet berhasil setelah mampu
mempengaruhi pimpinan SI di Semarang yang waktu itu di pegang oleh Smaun Himidan
Darsono dengan masuknya ke tubuh ISDV. Kegiatan mereka senantiasa menciptakan
kerusuhan dan pergolongaqn dalam tubuh SI, terutama menyesatkan fitnah fitnah
keji terhadap pimpinan SI, kemudian setelah merasa posisi mereka kuat, mereka
mendirikan Partai Komunis India ( Hindia ) oada tanggal 23 Mei 1920 yang
merupakan transformasi dari ISDV, tindakan mereka seperti itu tercium oleh
pimpinan SI dalam suatu kongres partai pada tahun 1921, mereka di keluarkan dari
keanggotaan SI, ini akibat di canangkannya “disiplin partai” dimana dinyatakan
bahwa anggota SI tidak di perkenankan menjadi anggota kelompok / partai
lain.
Sekeluarnya mereka dari SI, mereka semakin giat melakukan
propaganda dalam usaha memasyarakatkan fahamnya, bahkan tidak sekedar
propaganda, mereka juga memfokuskan Move move yang bersifat “ Phsyie” ( kejiwaan
). Puncak peris tiwa adalah ketika mereka memproklamasikan berdirinya PKI,
kemudian mengadakan pemberontakandi daerah Jawa Tengah dan Sumatera Barat pad
atahun 1926. Kelompok ini lebih di kenal dengan “SI” merah ( Sosialis Indonesia
).
Pada tahun berikutnya tegasnya pada tahun 1927, Soekarno yang di
harapkan jadi kader SI militan menyimpang / bertentangan faham dengan HOS
Cokroaminoto mengenai dasar dan tujuan perjuangan. Soekarno berpendapat hanya
faham kebangsawananlah bukan Islam yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia
dalam mempersatukan langkah menghadapi kolonial Belanda, kemudian ia mendirikan
Partai Nasional Indonesia ( PNI ) yang berdasarkan nasional sekuler.
4.
Lahirnya Sikap Hijrah SI
Hijrah suatu sikap politik SI yang di lancarkan
untuk pertama kalinya dalam tahun 1923. Sebagai akibat ketidakpercayaan partai
terhadap pemerintah kolonial dan keyakinan pimpinan partaibahwa kerjasama dengan
pihak pemerintah kolonial (kafir) hanya akan menimbulkan kerugian dunia akhirat
dan mengakibatkan tergelincirnya partai lebih jauh lagi dari tujuan yang
sebenarnya.
Hijrah adalah strategi Illahi yang telah di tetapkan menjadi
salah satunya pola perjuangan para Rasul Nya dalam mengemban risalah menegakkan
Dienul Haq atas dien dien lainnya . Termasuk Nabi Muhammad SAW pola
perjuangannya adalah Hijrah, tegasnya Iman-Hijrah-Jihad.
Pimpinan SI
menyadari benar , bahwa berjuang mentegakkan Islam adalah Ibadah. Oleh karenanya
dalam pelaksanaannyaharus mengikuti yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW,
apapun resikonya harus di hadapi, tidak boleh membut cara sendiri, malah kiranya
motivasi yang melatarbelakangi di tetapkannya sikap hijrahsebagai garis politik
yang resmi dari SI. Ditambah dengan kondisi yang mendorong untuk mengambil sikap
tegas semacam ini, dimana pada pada saat itu semakin jelas, bahwa pemerintah
Belanda dan Volkstraadnya ( Dewan Rakyat ) bukan memberi kemenangan terhadap
perjuangan SI, justru sebaliknya mereka berusaha menyikat dan meringkus dengan
halus tokoh-tokoh SI agar tunduk dan patuh terhadap segala kehendak mereka
(Pemerintah Kolonial), tanpa membantah apalagi mengahalanginya. Juga dengan
menyimpangnya Semaun Cs dan Soekarno dari garis Islam dengan membentuk Partai
Komunis Indonesia dan PNI yang bedanya sangat menentang Islam yang telah menjadi
dasar perjuangan SI, inipun merupakan faktor yang ikut mendorong untuk mengambil
sikap hijrah dengan tegas lagi. Terutama terlihat dari langkah-langkah partai
yang semakin menampakkan permusuhan terhadap pemerintah Belanda pada tahun 1930,
yang telah berubah namanya menjadi PSII (Partai Syarekat Islam
Indonesia).
Tahun 1933 mencatat suatu penyesuaian struktur partai, juga
dasar perjuangan partai yang dihasilkan pada tahun itu dianggap sesuatu yang
telah sempurna para pemimpinnya terutama dengan figure HOS Cokroaminoto dibantu
SM. Kartosuwiryo sebagai sekretaris pribadinya, berusaha mewarnai lembaga PSII
ini dengan warna Islam saja, tanpa ada warna-warni lainnya ini bisa dilihat dari
dasra strategi partai yang Islami.
5. Menyimpangnya Beberapa Tokoh SI
dari Garis Hijrah
Setelah Si menetapkan dan mempertegas politik hijrahnya
yang berarti tidak ada kerjasama dan tidak ada garis taat kepada pemerintah
Belanda, maka pihak pemerintah segera menyambutnya dengan tindakan-tindakan
keras dan tegas, mereka keluarkan peraturan-peraturan yang sangat ketat,
sehingga mempersempit ruang gerak SI.
Memang demikianlah resikonya dari
sikap hijrah sebagaiman yang telah dialami oleh Nabi Muhammad s.a.w. beliau
dengan sikap hijrahnya telah mendapat perlakuan kasar dan kejam yang penuh
dengan sikap permusuhan dari pihak pemerintah Quraisy. Beliau dengan para
sahabatnya dicari-cari, dicekam, diintimidasi, diblokade, diusir bahkan
direncanakan untuk dibunuh. Tapi Allah telah merencanakannya atau
memnyelamatkannya dan memenangkannya atas orang-orang kafir itu karena memang
hijrah adalah stategui Allah untuk meyelamatkan dan memenangkan Rasulullah
beserta umatnya dalam berjuang mennegakkan Al-Haq.
Melihat tindakan
Pemerintah Belanda yang makin keras terhadap SI akibat dari sikap poloitik
hijrahnya ini, maka beberapa tokoh SI duiantaranya Sukiman dan Wali Al-Fatah
serta beberapa orang pemimpin Muhamaddiyah termasuk ketua umumnya KH. Mas
Mansyur bersama-sama mengusulkan kepada pemimpin SI agar merubah langkah politik
hijrahnya, karena menurut pendapat mereka bahwa politik semacam itu merupakan
sesuatu langkah taktik saja dan bukan sesuatu prinsip yang tidak bisa
dirubah.
Mereka melihat politik hijrah seperti yang dilaksanakan oleh SI
tidak bersifat ketat dan baku sehingga menjadi penghambat perjuangan partai
sendiri, karena tidak memungkinkan penyesuaian dengan situasi. Disamping itu,
orang-orang ini mengusulkan kepada SI agar partai ini membatasi diri pada bidang
poloitik saja dan mempercayakan aspek-aspek sosial dan pendidikan pada
organisasi lain dalam rangka pergerakan kebangsaan yang memang didirikan untuk
mengahadapi bidang itu. Mereka juga meminta agar tindakan disiplin terhadap
Muhammadiyah yang telah dilakukan oleh SI pada tahun 1927 itu dicabut kembali
(dibatalkan)
a. Keluarnya Sukiman Cs
Dalam mengahadapi
usulan-usulan itu, HOS Cokroaminoto sebagai pimpinan puncak dan penanggung-jawab
PSII telah bertindak cukup tegas, beliau menolak seluruh usulan-usulan tersebut
dengan alasan:pertama, tentang hijrah: bahwa hijrah bukan sekedar taktik, akan
tetapi merupakan prinsip yang tidak bisa dirubah-rubah. Bahkan merupakan faktor
yang sangat menentukan syah tidaknya amal ibadah dan amal jihad umat Islam
dihadapan Allah Rabbul Izati. Bergeser dari hijrah berarti bergeser pula pada
kemurnian Islam.
Menuju kepada percampuran haq dan bathil, sebab hijrah
adalah salah satu usaha untuk memurnikan ibadah tau pengabdian kepada Allah
(realisasi dari tauhidul ibadah) yang lawanya adalah musyrik. Kedua, tentang
pembatasan ruang lingkup SI : bahwa SI adalah gerakan Islam yang bersifat
universal mempunyai tujuan menegakkan Khaifatullah fil ardhi, artinya
pemerintahan Allah di muka bumi. Tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan dalam
satu bidang/parsial saja tetapi harus mencakup seluruh aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, juga termasuk aqidah dan
ubudiyyahnya.
Terakhir tentang tindakan displin Muhammadiyah bahwa
tindakan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam SI setelah
sebelumnya pihak pimpinan memberi beberapa kali peringatan terhadap
Muhammadiyyah untuk tidak bertindak sendiri dan harus merasa terikat dengan
peraturan-pertauran SI. Namun, hal ini selalu diabaikan oleh Muhammadiyah,
karena itu tidak ada jalan lain untuk menjunjung tinggi peraturan-peraturan SI
yang berlandaskan Islam (Sukiman dan Wali Al-Fatah cs) tidak mau menerima
alsan-alasan tersebut dan mereka bersikeras berusaha agar usulannya itu diterima
oleh partai bahkan mereka mengancam akan mendirikan lagi. Pada “skorsing”
Sukiman cs dikeluarkan dari PSII tindakan ini banyak mendapat kecaman dari
beberapa golongan, terutama dari pers Indonesia dan pihak-pihak yang tidak
setuju terhadap politik hijrah.
Mereka menghimbau agar HOS Cokroaminoto
menarik kembali tindakan terhadap Sukiman cs tersebut. Namun HOS Cokroaminoto
tetap tidak goyah dengan sikapnya ini. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1933,
yang kemudian orang-orang ini dengan kekecewaannya berusaha membentuk suatu
penelis yang kemungkinan persatuan islam indonesia yang mempunyai dasar campuran
: Islam Nasional dan budaya. Pnelis ini menarik kerjasama dengan PSII merdeka di
Yogyakarta (termasuk yang tidak setuju dengan politik hijrah) untuk bersama-sama
membentuk partai islam indonesia (PARTI). Tetapi usaha ini segera mundur pada
tahun berikutnya. walaupun mendapat sambutan dari berbagai tempat di Jawa, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan seperti ini merupakan suatu permulaan daripada yang
dalam 4 Desember 1938 menjadi Partai Islam Indonesia (PII) yang diketuai oleh
Raden Widodo dan Sukiman.
b. Keluarnya Agus Salim
Selain Mr.
Sukiman cs sesungguhnya masih ada kelompok yang tidak setuju dengan kelompok
hijrah, yang menurut pendapat mereka, poltik semacam ini yang hanya akan
menimbulkan kesulitan dan keruwwetan belaka. Atau menurut istilah mereka
dikatakan “ bak membenturkan kepala ke tembok saja”. Kelompok ini dimotori oleh
H. Agus Salim. Namun pada saat itu ketika pimpinan partai masih HOS
Cokroaminoto, kelompok ini belum berani secara terang-terangan mengatakan
ketidaksetujuan terhadap kelompok/politik hijrah. Bagaimanapun mereka masih
segan dengan karishma pribadi dan kepimpinan HOS Cokroaminoto. Baru setelah
Cokroaminoto wafat pada tahun 1934, dan kepemimpinan partai jatu ditangan
saudarnya, yaitu Abi Kusno Cokro Suryo dan wakilnya SM. Kartosuwiryo, maka
kelompok lain mulai berani angkat suara untuk menentang politik. hijrah. Hal ini
dapat dilihat pada bulan Maret 1935, H. Agus Salim yang saat itu sebagai ketua
dewan partai meminta dengan sangat kepada lanjnah tanfiziyah untuk meninjau
kembali kebijaksanaan “politik hijrah”. Sehubungan dengan keluarnya
peraturan-peraturan yang lebih ketat dari pemerintahan kolonial Belanda, pada
tahun tersebut dalam menghadapi partai-partai politik yang bersifat
nonkooperatif.
Lebih lanjut lagi, pada April tahun yang sama H. Agus
Salim berusaha untuk merubah sepenuhnya kebijaksanaan dan melaksanakna
referendum dari cabang-cabang partai diadakan menghadapi saran-sarannya itu.
Bahkan Kusno curiga bahwa Salim berambisi pribadi untuk duduk dalam Volstraat
dan memang pemerintah kolonial Belanda pernah menawarkan itu padanya. Lebih
lagi, kongres partai yang diadakan pada tahun 1936 menolak pendirian Agus Salim
ini dan tetap menjadikan hijrah sebagai politik resmi dari PSII. Melihat
kenyataan ini, Agus Salim tidak tahan lagi, dimana posisi dirinya semakin
tersisihkan. Maka dia bertindak lebih jauh lagi dengan membentuk satuan fraksi
dalam lingkungan partai yang disebut dengan “Barisan Penyadar Partai Syarekat
Islam Indonesia” (BPPSII) pada tanggal 18 November 1936 dengan maksud agar
pemikiran-pemikirannya dapat diterima oleh partai. Gerakan ini diketuai oleh Mr.
Moh. Room yang direncanakan akan bergerak dalam lingkungan SI sendiri. Tetapi
ternyata penyebab gerakan ini yang sampai kecabang-cabang partai, dianggap oleh
Abi Kusno suatu hal yang sempat mematahkan stabiliotas partai.
Oleh sebab
itu, dia menginstruksikan pada semua anggota SI untuk mengakhiri perdebatan
masalah hijrah, sebab hijrah sudah menjadi politik resmi partai yang telah
didukung dengan kiyas-kiyas syar’i yang sudah tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Kepada seluruh barisan agar menyatu untuk meneruskan kegiatannya dan kembali
menta’ati seluruh kebijaksanaan yang telah digariskan oleh partai dan terus
berusaha “menyadarkan” orang-orang yang dianggap tidak memahami situasi dan
kondisi.
Menghadapi kelompok Agus Salim ini, maka Abi Kusno mengadakan
rapat gabungan antara dewan partai dan lajnah fan fidziyah yang memang kedua
lembaga ini mempunyai wewenang penuh untuk mengambil suatu keputusan dalam
menghadapi problema yang terjadi, kemudian rapat ini memutuskan tindakan
(skorsing). Pemecahan masalah terhadap pimpinan-pimpinan badan penyadar
diantaranya Mr. Moh. Room dan Sobari pada bulan januari 1937. Bulan berikutnya
dipecat pula H. Agus Salim, AM. Sangaji dan 24 tokoh penyadar lainnya. Abi Kusno
dan kawan-kawannya merasa perlu untuk membenarkan tindakan tersebut dalam
mempertahankan politik hijrah, terutama seluruh anggota partai. Demikianlah
sekitar bulan April dan mei 1937. Diadakan rapat-rapat dari cabang partai untuk
mengencangkan kebenaran politik hijrah dan kebenaran tindakan Pemimpin politik
menskorsing orang-orang “penyadar” yang dengan keras menentang
hijrah.
Tidak cukup dengan rapat-rapat saja, penjelasan dengan politik
hijrah ini disusul pula dengan penerbitan sebuah brosur yang berjudul “Sikap
Hijrah Partai SII” terdiri dari 2 jilid disusun oleh SM. Kartosuwiryo yang saat
itu menjabat sebagai wakil ketua lajnah fanfidziyah PSII. Jilid pertama dalam
brosur tersebut kartosuwiryo berhasil menguraikan secara panjang lebar tentang
pengertian Ad Dien (agama) yang menyangkut sebuah aspek kehidupan tentang status
dan tugas manusia dalam kehidupan didunia ini, juga tentang sikap serta
perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW yang menjadikan satu satunya pedoman serta
pola perjuangan oleh seluruh umatnya. Sesudah pembahasan arti hijrah, SM
Kartosuwryo melanjutkan dengan mangatakan hampir pada setiap tempat dimana kata
“hijrah” digunakan dalam Al Qur’an, kata ini di asosiasikan dengan jihad. Maka
sehubungan dengan itu ia menulis, “tiada tindakan hijrah di anggap abash bila
dalam cita cita jihad tidak dilaksanakan.
Demikianlah SM Kartosuwiryo
dengan brosurnya tersebut telah mencoba mengutarakan pengertian hijrah dan jihad
secara panjang lebar dan menekankan untuk segera di realisaikan dalam
kenyataan
BAB II. REALISASI SIKAP HIJRAH UMMAT ISLAM BANGSA
INDONESIA.
1. Mengenal Pribadi SM. Kartosuwiryo
Dia seorang tokoh
SI yang cukup gigih dan konsekwen dalam mempertahankan politik hijrah, meskipun
harus menghadapi tantangan dan kecaman dari berbaga pihak sampai – sampai dia
harus dipecat dari berbagai jabatan dan keanggotaan PSII oleh ketua umumnya
sendiri yaitu Abi Kusno Cokro Suryoso. Karena Kartosuwiryo menolak untuk
berpindah haluan dari hijrah ke parlementer.
SM. Kartosuwiryo sebuah nama
gabungan dari namanya sendiri, ayah dan kakeknya. Nama aslinya adalah
Sekarmadji, ayahnya Maridjan dan kakeknya Karto Suwiryo. Ayahnya seorang pegawai
kraton dari kesultanan Solo. Seorang yang paham sejarah, pekerjaannya sebagai
petugas pemeliharaan barang-barang sejarah termasuk buku-buku sejarah yang
ditulis oleh orang-orang zaman dahulu. Dan memang masih ada hubungan darah
kesultanan, baik dengan kesultanan Solo maupun Demak. Tidak benar, kalau ayah
Sekarmadji dikatakan sebagai pedagang candu, itu hanya fitnah belaka yang
sengaja dilontarkan oleh orang-orang non muslim untuk menjatuhkan martabat
putranya yang kemudian dipercaya mengemban tugas ilahi. menegakan pemerintahan
Allah di bumi Indonesia inil. Sebaliknya, Maridjan adalah seorang muslim yang
sholeh. Seorang ayah yang berhasil membentuk jiwa dan pribadi putranya menjadi
muslim yang sejati dan konsekwen. Dan tetap islam dijadikannya sebagai
satu-satunya pedoman hidup dan satu-satunya sistem hidup yang mewarnai seluruh
aspek kehidupannya.
Jenjang Pendidikan Umum
Sekarmadji dilahirkan
di Cepu, sebuah daerah kecil antara Blora dan Bojonegoro, pada tanggal 7
Februari 1905, status ayahnya yang termasuk bangsawan (ningrat) dikalangan
kraton Solo, menyebabkan Sekarmadji dapat menikmati jenjang pendidikan di cukuo
sukse, di dukung pula oleh kemampuan otaknya yang cemerlang. Pada usia 6 tahun,
dia masukk Inlandsche School der tweede klasce/ sekolah bumi putra kelas dua
selama empat tahun. Kemudian melanjutkan ke sekolah dasar kelas 1. Mulai dari
inlandsche School (I-IIS), yaitu sekolah putra bahasa Belanda. Kemudian pada
tahun 1919 setelah orang tuanya pindah ke Bojonegoro, dia masuk ke
EuropeecheLegere School (ELS) sekolah dasar Eropa, bagi seorang putra pribumi,
keduanya merupakan sekolah elite.
Sekolah Bumi Putra bahasa Belanda (HIS)
dimasukan untuk anak-anak anggota kelas atas kemasyarakatan pribumi.
syarat-syarat untuk masuk ke ELS adalah yang paling ketat dari semuanya. Sesuai
dengan namanya sekolah ini direncanakan sebagai lembaga pendidikan hanya untuk
orang Eropa dan masyarakat Indo Eropa. Walaupun dalam jumlah yang terbatas,
Pribumi juga diperkenankan masuk. Bagian yang akhir ini terutama adalah
anak-anak yang dapat terjamin berdasarkan latar belakang sosialnya, diharapkan
melanjutkan pelajarannya pada lembaga-lembaga Eropa untuk tingkat pendidikan
menengah dan tinggi dan kedua bagi anak-anak yang berbakat khusus yang mampu
melanjutkan pelajaran merekan pada salah satu lembaga yang mendidik bumi putra,
ahli hukum/pegawai negeri. Diterimanya SM. Kartosuwiryo di sekolah elite
tersebut karena termasuk kategori-kategori kedua, yaitu beliau mempunyai bakat
(keistimewaan) khusus, setelah menyelesaikan ELS dia berangkat ke Surabaya untuk
melanjutkan studi ke Nenderlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah
Dokter Hindia Belanda. Memulai pelajaran di NIAS ini pada tahun 1923 dalam
usianya yang ke delapan belas (18).
Sesungguhnya di sekolah kedokteran
itu harus ditempuh paling sedikit selama 6 tahun. Kemudian menjadi seorang
pribumi, tetapi beliau gagal ditengah jalan, karena pada tahun 1927 beliau harus
keluar dari sekolahnya, akibat kegiatan politik anti penjajahannya terlalu
terbuka yaitu pada saat beliau aktif memimpin “Jong Islamaiten Bond” sebuah
organisasi pemuda islam. Ternyata ruhul islam dan ruhul jihad yang telah
ditanamkan oleh ayahandanya semenjak kecil, tidak luntur oleh pelajaran berbau
sekuler yang telah diterimanya selama ini. Bahkan semakin menjiplak ruhul jihad
dalam jiwanya/dadanya tidak dapat dibendung lagi.melihat penderitaan umat yang
semakin hari semakin parah, akibat sistem penjajahan yang kejam dan sadis, yang
selaui mewarnai kehidupan umat ini.
Jiwanya terpanggil untuk mencoba
berbuat dan berusaha membebaskan umat dari belenggu penjajahan ini, agar dapat
bebas melaksanakan kehidupan islam dengan sempurna. meskipun akhirnya dengan
tindakannya ini beliau harus mengorbankan kariernya sebagai calon dokter pada
sekolah kedokteran yang menjadi idola masyarakat pada saat itu. Terlebih-lebih
setelah beliau bertemu dengan Haji Oemar Said Cokro aminoto di Surabaya. Seorang
tokoh PSII yang paling menonjol dan memiliki karisma kepemimpinan yang tinggi,
SM. Kartosuwiryo banyak belajar menyerap ilmu dan akhlaq dari tokoh ini.
Terutama dalam bidang tauhid dan politik islamsetelah dikeluarkan dari NIAS
tahun 1927. Beliau berkeinginan hati untuk tinggal bersama HOS Cokroaminoto
dirumahnya. Sekaligus menjadikannya guru dan pemimpin yang dapat membimbing
dirinya dalam melaksanakan pengabdiannya kepada Allah dan dalam perjuangan
menegakkan Dienullah/hukum islam.
Mulai saat itu beliau diangkat sebagai
sekretaris oleh pak Cokroaminoto dan fungsi ini berlanjut sampai tahun 1929.
Sebagi pembantu dan sekretaris pribadi, beliau banyak memberikan ide-ide yang
islami terhadap pak Cokro dalam mempertegas garis islamnya. Terutama dalam
mempertahankan dan merealisasikan politik hijrah PSII yang telah diputuskan oleh
kongres. Hal inilah yang mnyebabkan pak Cokro semakin percaya terhadap diri SM.
Kartosuwiryo bahwa ia benar-benar kader muslim mujahid yang militan, yang bisa
dipercaya untuk melanjutkan perjuangan islam ini. Maka pada kongres PSII tahun
1933 beliau diangkat menjadi sekretaris jendral PSII sampai akhir hayat HOS
Cokroaminoto yang wafat pada tahun1934, pada periode ini periode bersatunya SM
Kartosuwiryo dengan pak Cokro, akan semakin jelas terlihat arah perjuangan PSII
yang semakin berusaha memurnikan azas dan warna islamnya dari campuran-campuran
yang lainnya semacam nasionalis sekuler, sosialisme, dan komunisme. Akibatnya
cokroaminoto dan PSII-nya ditinggalkan dan diisolir oleh tokoh-tokoh sosialis
komunis yang dulu pernah bersama-sama dalam Syarekat Islam. Apabila telah
ditetapkannya politik hijrah sebagai politik resmi dari PSII bila dilihat dari
lahirnya, memang PSII semakin kecil dan semakin lemah akibat sikap hijrah ini,
tapi dihadapan Allah bukanlah demikian. Sebaliknya PSII semakin bernilai oleh
Allah Rabbul Izzati bukanlah besarnya quality, kuantitas, melainkan tingginya
kualitas dan keberhasilan iman.
Pendidikan Islamnya
Tentang
pengetahuan islamnya SM. Kartosuwiryo berbeda dengan tokoh-tokoh islam lainnya
yang mendapatkan pengetahuan tentang islam melalui pedidikan
pesantren/madrasah-madrasah. Maka beliau mendapatkannya dangan cara autodidak
(belajar sendiri) dan sering berkonsultasi pribadi dengan ‘ulama-ulama’ yang
konsekwen dan sholeh. Bermodalkan semangat islam yang mengalir dalam dirinya
yang ditanamkan orang tuanya semenjak kecil, beliau terus mempelajari dan
mendalami Al Islam, melalui buku-buku yang ada pada saat itu. Kesibukan
kuliahnya dalam bidang Ilmu Fisika yang cukup berat itu, tidak menghalangi dari
usaha menggali islam. Setelah dikeluarkannya dari NIAS, keempatan mempelajari Al
Islam semakin luas apalagi setelah tinggal dengan pak cokroaminoto, mulai tahun
1927-1929. Beliau juga banyak mewarisi sifat-sifat kepemimpinan Cokro aminoto,
terutam dalam ketegasannya memegang prinsip kebenaran (Al Haq).
Pada
tahun 1929 karena alasan kesehatan disanping tugas dari pimpinannya, terpaksa
beliau harus berpisah dengan cokroaminoto untuk pindah ke jawa barat. Kemudian
bermukim di magelang, sebuah kota kecil dekat garut dan tasikmalaya. Disana
beliau berguru pada ‘ulama’ setempat antara lain Kyai Yusuf Tadjri dan Kyai Ardi
Wisastro yang disebut belakangan ini disamping sebagai guru juga merangkap
sebagai mertuanya, sebab menikah dengan putrinya yang bernama Dwi Ummi Kalsum
pada tahun 1929.
Kyai Ardi Wisastra adalah seorang ulama yang termashur
di daerah malangbong, disamping sebagai tokoh PSII terkemuka di daerah itu
beliau juga seorang sufhi,yang selalu nerusaha membersihkan diri dari
kotoran-kotoran dosa, dan meningkatkan martabat diri di hadapan Allah dengan
melaksanakan amalan nawafil, disamping ibadah fardhu yang terbatas itu. Bidang
inilah yang sangat menarik SM. Kartosuwiryo, untuk mempelajari lebih dalam,
sebab menurut pendapatnya untuk menjadi mujahid (pejuang islam) yang baik, mesti
dibutuhkan kebersihan jiwa dari penyakit-penyakit riya,’ujub, iri hati, syirik
dan semacamnya. Bagaimana seseorang akan memperjuangkan berlakunya islam untuk
orang lain, sedangkan dirinya sendiri belum islam secara konsekwen lahir dan
bathin, apalagi untuk menjadi seorang pemimpin islam harus mesti mempunyai
sifat-sifat Warosatul Ambiya menjadi kekasih Allah (Waliyullah).
Dengan
bimbingan mertua sekaligus gurunya, beliau melakasanakan praktek-praktek sufhi,
mengkonsentrasikan jiwa hanya untuk berdzikir kepada Allah saja. Sementara
hubungan dengan yang bersifat duniawi diputuskannya. Dengan maksud mencontoh
perilaku Nabi Muhammad Rosullullah s.a.w. Menjelang menerima wahyu pertama,
beliau selalu mengadakan kholwat ( mengasingkan diri dari kehidupan duniawi),
tabattul (membulatkan perhatian dan jiwa hanya untuk Dzikrullah semata), dan
taqorub (mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah nawfil),
sehingga aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya (membimbing
pendengarannya dengan hidayah dan taufiknya), yang mana dia mendengar dengan-Nya
dan aku menjadi tangannya, yang dia memluk dengan-Nya, dan aku menjadi kakinya
yang dia berjalan dengan-Nya. Apabila dia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti aku
akan memberinya, dan apabila dia meminta pwerlindungan pada-Ku, pasti aku akan
melindunginya (Diriwayatkan Bukhori).
SM. Krtosuwiryo telah berusaha
mengamalkan konsep ini dengan membangun Goa buatan, yaitu dengan menggali tanah
untuk lubang. Disanalah beliau berkhalawat dan bertafakkur, mengasingkan diri
dari kesibukan-kesibukan duniawi, menjernihkan jiwa dari rizail-rizail
(kotoran-kotoran dosa ma’siat). Selama beberapa hari beliau bertaqarub dengan
melaksanakan ibadah-ibadah fardhu dan nawafil.
Allah SWT menepati
janji-Nya dengan mencintai hamba-Nya yang ini, yang telah bernujahadah sekuat
kemampuan, berjalan di atas fardhu dan nawafil, menuju ridho-Nya. Akhirnya Allah
menurukan cahaya hidayahnya dan taufiq-Nya, yang membimbing dan menuntun
pendengarannya, penglihatannya, kakinya, banyak di ijabah do’anya dan beliau
sering mendapat perlindungan Allah pada saat kritis, dari ancaman
musuh-musuhnya, musuh Allah dan musuh islam.
Ubudiyahnya
Menurut
Keterangan teman dekatnya yaitu ustadz H. Masduki, seorang ulama yang sejak muda
telah lafadz Al - Qur’an seluruhnya dan terpelihara sampai sekarang ini, bukan
hany sekedar hafal, tapi juga faham terhadap ma’na yang tersirat didalamnya,
serta mampu menyebarkannya. Karena kemampuannya inilah, maka dia di angkat oleh
S.M Kartosuwiryo sebagai penasehat pribadinya, sehingga dia banyak tahu tentang
pribadi S.M Kartosuwiryo. Sebagai ustadzini menerangkan “pak Karto adalah
seorang ‘ahbid (ahli ibadah ) yang khusu’ dan istiqomah. Sholat-sholat fardhu
selalu dilakukannya diawal waktu dan selalu dilengkapi dengan sholat rowatib,
kalu malam sangat sedikit sekali waktu yang digunakan untuk quamul lail (sholat
malam) serta menyusun konsep-konsep dan program-program perjuangan islam,
terlebih lagi setelah beliau menjabat sebagai imam Negara Islam Indonesia.
Panglima Tinggi Tentara Islam, pendeekatan kepada Allah lebih di perketat
lagi.
Beliau selalu rajin membangunkan keluarganyapada dua pertiga malam
untuk quamil lail. Pada suatu saat pernah beliau bercerita kepada saya tentang
suatu keanehan yang terjadi pada dirinya, yaitu pada saat malam ,menjelang hari
ke empat puluh beliau berkhalwat dan tabattul, tiba-tiba datang cahaya yang
terang benderang menerangi alam sekitar beliau, yang saat itu sedang malam
keadaan gelap gulita. Dengan cahaya itu beliau dapat melihat darah yang ada
dalam pembuluh nadinya, dan sum-sum yang ada dalam tulangnya, beliau merasa
ajaib dengan peristiwa itu terlebih-lebih tatkala beliau membuka buku-buku
berbahasa arab gundul, beliau menjadi mampu untuk membaca dan memahamiya.
Padahal sebelumnya beliau belum pernah belajar ilmu-ilmu alat seperti, nahwu,
shorof, balaghoh, usul fiqih, mantiq, dan lain sabagainya secara mendalam. Namun
sejak saat itu hingga akhir hayatnya, beliau mempunyai kemampuan mempergunakan
ilmu-ilmu tersebut, untuk membaca dan mendalami ayat-ayat Al-Qur’an dan
tafsirnya serta kitab-kitab hadist, ilmu semacam ini disebut ilmu laduni,
artinya ilmu yang langsung dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang hamba yang
dicintai-Nya, tanpa melalui proses belajar sebagaimana biasanya. Ini sesuai
dengan apa yang telah diketahui. Maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang
belum ia ketahui” Al-Hadist.
Demikianlah keterangan ustadz H. Masduki,
dalam suatu wawancara dengan penulis tentang usaha-usaha SM. Kartosuwiryo dalam
mempelajari dan memahami Al-Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al
Hadits.
Akhlaqnya
SM. Kartosuwiryo adalah seorang yang Zuhud
(sederhana dalam kehidupan dunia). Tidak senang kepada kemewahan dan
berlebih-lebihan. Sebagai seorang tamatan ELS dan jebolan sekolah dokter,
sesungguhnya sekarmadji dapat hidup cukup baik dalam kehidupan sosial
ekonominya, kalau saja ini jalannya, beliau mau menjadi seorang pegawai
pemerintahan atau bekerja di suatu kantor perusahaan, tetapi rupa-rupanya beliau
lebih suka hidup sederhana denganbertyani alakadarnya. Dan mencurahkan seluruh
tenaga dan pikirannya untuk perjuangan Islam. Orientasi hidupnya bukan lagi
duniawi tetapi ukhrawi. Kehidupan duniawinya hany dijadikan sebagai marad’atil
akhirat, artinya ladang tempat beramal dan mempersiapkan bekal untuk menuju
kebahagian di Akhirat, kata seorang ajengan teman dekatnya pernah satu rumah
dengannya yang tidak mau disebutkan namanya. Zuhudnya (kesederhnaannya) itulah
salah satu ciri kepribadian sekarmadji, “Hampir setiap pagi kalau turun ke
sawah, saya melihat sekarmadji memakai celana sulam model kuno, teatpi dia tidak
lama di sawah, apabila dia silaturahim ke rumah kerabatnya / ke rumah anggota
pengurus PSII setempat untuk membicarakan langkah-langkah perjuangan , dia
selalu kelihatan memakai baju yang itu-itu juga, sepasang jas tutup dan celana
dari kain yang murah, ia selalau berjalan dengan menundukkan kepala penuh rasa
takwadhu dan selalu bersukap hormat kepada setiap orang yang di temuinya.
Sehingga tidak seorang pun mengira, kecuali yang sudah mengenal bahwa dia
seorang (ningrat) dan terpelajar”.
Demikian ajengan itu melanjutkannya
keterangannya tentenag pribadi S.M Kartosuwiryo “Sekarmadji seorang penyantun,
suka meringankan kesulitan orang lain, terutama kepada fakir - miskin dan yatim
piatu, beliau sangat dekat sekali. Inilah yang memikat hati masyarakat
sekitarnya sehingga mereka benar-benar percaya terhadap kepada kepemimpinannya”.
Demikianlah ajengan tersebut mengakhiri keterangannya.
Ustadz H. M.
Masduki menambahkan keterangan tentang akhlaq SM. Kartosuwiryo “Beliau adalah
seorang yang tawadhu’ dan rendah hati, toleransinya sesama ikhwan sangat tinggi,
seorang pemaaf yang sabar dan mampu melaksanakan itsani ‘alan nafsi (lebih
mementingkan orang lain, meskipun dirinya sangat memerlukan). Pernah suatu saat
saya terpisah dari pasukan karena menghindari TNI yang sedang petroli, kemudian
saya bertemu dengan pak Imam bersama putranya Dodo yang sama-sama terpisah dari
pasukan kami akhirnya berjalan bersama untuk menuju ke induk pasukan. Setelah
cukup lelah berjalan menyusuri hutan belantara, kami beristirahat dan membuat
kemah alakadarnya untuk dapat berlindung. Ransel saya yang berisi perbekalan
terbawa oleh pasukan, sehingga saya pada saat itu tidak membawa apa-apa, kecuali
pakaian yang dipakai saja. Pak Imam pun perbekalannya sangat tipis sekali,
tinggal beras beberapa sendok saja, piringnya pun Cuma satu-satunya. Tiba-tiba
pak Karto menyodorkan piringnya itu kepada saya sambil berkata: Silahkan ustadz,
ini adalah hak ustadz”. Makanlah” karena saya merasa beliaulah yang lebih
berhak, sebab beliau lebih tua dan lebih membutuhkan daripada saya. Saya lebih
muda dan lebih kuat untuk menahan lapar, silahkan ini untuk bapak saja”. Namun
beliau memaksa saya dengan mengeluarkan alasan yang kuat: “Ustadz, ini memang
milik saya, tapi hak ustadz, karena ustadz adalah tamu saya, maka berilah saya
kesempatan untuk melaksanakan ayat Allah (Q.S. Al-Hasyr ayat 19)”, terima ini
dan makanlah, ini adalah hak ustadz. Akhirnya saya tidak bisa menolak lagi, lalu
saya makan tidak sampai habis, kemudian saya serahkan sisa nasi itu kepada
baliau barulah beliau makan dan dibagi dua dengan anaknya”. Demikianlah ustadz
HM. Masduki berkisah tentang penglamannya, kemudian beliaupun melanjutkan pada
waktu menjelang tidur, pak Karto memberikan kain yang hanya satu-satunya kepada
saya untuk selimut sambil berkata “ustadz pakailah selimut ini karena udara
malam sangat dingin sekali, berilah saya kesempatan untuk melaksanakan sunnah
rasul jangan ustadz menolaknya, ini hak ustadz”. Saya tidak bisa berbuat apa-apa
selain menerimanya. Namun perasaan saya tidak enak sebab beliau lebih tua, lebih
tidak tahan kondisi badannya menghadapi udara yang sangat dingin. Udara
pegunungan dan malam hari, maka terlihat beliau tidur, kain sarung saya
selimutkan kepada beliau. Kemudian sayapun tertidur, tapi ketika tengah malam
saya terbangun, kain sarung sudah berpindah lagi menyelimuti tubuh saya, dan
beliau tidur nyenyak tanpa selimut, kemudian saya kembalikan lagi sarung
tersebut untuk menyelimuti beliau. Demikian berkali-kali kain sarung itu
berpindah-pindah, sehingga pada saat saya bangun terakhir kalinya, kain itu ada
pada saya dan beliau saya lihat sedang solat tahajjud”. Demikianlah keterangan
ustadz Masduki tentang akhlaq. SM. Kartosuwiryo adalah figure utama pewaris
nabi, yang mampu merealisasikan Sunnah Rasul dan layak menjadi imam ummat Islam
Indonesia.
2. Akhirnya KPK, PSII
Ternyata Abi Kusno, Aruji
Kartawinata, Wonodoamiseno dkk, belum siap mental untuk menghadapi resiko
daripada pelaksanaan sikap hijrah itu. Semangat hijrahnya yang menggebu-gebu
pada beberapa belakangan ini dengan melakukan tindakan tegas kepada setiap
penantangnya seperti skorsing yang dijatuhkan kepada H. Agus Salim, Moh. Room
dkk dari barisan penyadar, ternyata kandas setelah melihat kenyataan betapa
sulit dan rumitnya perjalanan ini.
Tindakan dan kecurigaan dari
pemerintahan Belanda terhadap partai politik yang berhaluan non kooperasi yang
demikian yang semakin hari semakin ketat dan menurunnya kuantitas
anggota-anggota PSII yang merosot sangat drastis akibat pengaruh propokasi dari
orang-orang barisan penyadar, adalah merupakan faktor-faktor pendorong Abu Kusno
cs berputar haluan, meningkatkan politik hijrah beralih kepada garis
parlementer, pada tahun 1938. Abi Kusno mempelopori terbentuknya GAPI (Gabungan
Politik Indonesia). Dia berusaha merangkul bekas-bekas musuhnya yang menentang
hijrah, diantaranya Mr. Sukiman yang menjadi ketua PII (Partai Islam Indonesia)
dan H. Agus Salim dengan barisan penyadarnya, untuk masuk bergabung dalam GAPI,
sebagai suatu federasi Partai Politik Indonesia yang tujuannya untuk parlemen
yang benar-benar representatif. Tindakan Abi Kusno itu sama sekali diluar
pengetahuan SM. Kartosuwiryo, yang saat itu menjabat sebagai wakilnya (Wakil
Presiden PSII). Setelah mengetahui akan hal ini, Pak Karto berusaha menegur Abi
Kusno agar menarik kembali langkahnya yang telah menyimpang dari garis hijrah
kebenaran. Namun Abi Kusno tidak menanggapinya, bahkan ia membujuk Kartosuwiryo
agar mau merobah haluan, dengan alasan bahwa hijrah itu adalah salah satu taktik
perjuangan saja bukan prinsip, sehingga bisa berubah menurut tuntunan situasi
dan kondisi.
Maka untuk situasi semacam ini, demi penyelamatan dan
mempartahankan partai dan kesulitan dan kebangkrutan, perlu adanya perubahan
taktik / siasat SM. Kartosuwiryo menolak mentah-mentah ajakannya, karena menurut
pendiriannya bahwa, hijrah bukanlah sekedar taktik melainkan suatu prinsip yang
tidak bisa dirubah-rubah dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga.
Perjuangan islam tanpa hijrah adalah batal, sebab tanpa hijrah akan terjadi
percampuran antara hak dan bathil dalam suatu wadah perjuangan, yang
mengakibatkan gugurnya haq (kebenaran) tersebut. Karena itu hijrah harus
dipertahankan apapun resiko yang harus dihadapi, menyimpang dari hijrah sama
halnya dengan menyimpang dari islam, begitu tegar dan kokoh pendirian SM.
Kartosuwiryo dalam mempertahankan prinsip perjuangan, yaitu sikap hijrah,
meskipun dia harus menghadapi mayoritas pengurus elite PSII yang akan berakibat
ancaman pemecatan terhadap dirinya dari PSII.
Padahal dalam satu atau dua
tahun yang telah lalu, pihak yang tampak akrab dan mesra sama-sama berada dalam
kubu, mempertahankan Poitik hijrah secara terperinci dalam brosurnya yang
terdiri dari dua jilid yang berjudul “Sikap Hijrah PSII”, pihak Abi Kusno
kawan-kawanya memberikan dukungan penuh atas usaha ini. Bahkan dalam kata
pengantar yang ditandatangani oleh Abi Kusno sebagai presiden dan Aruji
Kartawinata sebagai sekretaris PSII. Pada jilid ke dua, dia membuat pernyataan
bahwa pandangan-pandangan, pendapat-pendapat dan gagasan-gagasan tentang
penafsiran sikap hijrah PSII yang diuraikan dalam brosur ini telah dibicarakan
panjang lebar dengan presiden terpilih Dewan Pimpinan Partai dan Komite Ekslusif
Partai sebelum dan sesudah (Brosur) ditulis oleh pengarang.
Namun pada
saat itu, tegasnya pada tahun 1938, mereka terlibat dalam pertengkaran dan
perselisihan pendapat yang cukup sangat sengit, tentang perlu dirubahnya atau
tidak hijrah ini, Abi Kusno telah menggunakan wewenang selaku presiden partai.
Dengan tindakan mengeluarkan dari PSII, karena telah dianggap membangkang
terhadap pemerintahan-pemerintahan puncak pimpinan untuk merobah haluan dan
menarik kembali, serta mengkritik penyebaran brosur tersebut yang mengandung
pikiran-pikiran yang bersifat anakronisme.
Keputusan mengeluarkan SM.
Kartosuwiryo dan beberapa dukungannya termasuk Kyai Yusuf Tadjid dan Kamran
Hidayatullah, yang saat itu menjadi pemimpin bagian pemuda PSII, diambil Komite
Eksklusif Partai pada 30 Januari 1939, kemudian disetujui oleh kongres partai
pada bulan Januari 1940, tetapi mereka di cabut keanggotaannya menolak keputusan
tersebut. SM. Kartosuwiryo berpendirian bahwa PSII bukanlah lembaga milik
pribadi Abi Kusno dan kelompoknya, tetapi lembaga milik Allah, sebagai wadah
perjuangan dalam mendhohirkan Mulkiyyah (Struktur Kerajaan Allah) di muka bumi
ini, karena itu lembaga ini harus diselamatkan dari pengkhianatan oknum
pimpinannya yang telah menyimpang dari rel Sabillillah, garis yang telah
ditentukan oleh Allah SWT. Maka atas prakarsa SM. Kartosuwiryo dibentuknya suatu
komite tantangan. Komite Pertahanan Kebenaran PSII (PKP PSII), karena
dimaksudkan untuk menggebrak didalam PSII, komite mengabaikan resolusi pemecatan
ketika ternyata ini tidak mungkin dilakukan,mereka pada rapat umum komite di
Malangbong pada 24 Maret 1940. Diputuskan untuk membentuk partai yang bebas,
sebagai upaya penyelamatan politik hijrah, yang merupakan amanah Allah, amanah
Rasulullah dan amanat ummat yang telah diputuskan dalam kongres-kongres partai
pada tahun-tahun yang silam.
Partai yang baru ini, yang juga biasa
disebut PSII kedua. Dimana SM. Kartosuwiryo diangkat sebagai ketuanya,
diharapkan bisa berkembang menjadi PSII yang sebenarnya untuk mempertahankan dan
merealisir nilai-nilai dan tujuan islami yang menjadi ciri khas PSII yang telah
dirancangkan oleh pendirinya, HOS. Cokroaminoto, terutama dimaksudkan untuk
merealisasikan politik hijrah lebih kongkrit lagi, sebagaimana telah diputuskan
dengan kongres partai yang diadakan di Surabaya pada tahun1937. Oleh karena itu
PSII Abi Kusno Cokro Suyoso sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk mengemban
amanah suci ini, sebab mereka terdiri dari pengkhianat-pengkhianat yang telah
mengkhianati perjuangan islam yang sesungguhnya. Dan menodai nilai-nilai islam
yang pada mulanya telah mereka sepakati bersama. Dengan demikian mereka tidak
lagi berhak memakai nama Syarekat Islam Indonesia (PSII), sebab telah bergeser
dari Al-Islam, hal ini tampak lebih jelas sekali Abi Kusno memindahkan corak
perjuangan Islam kepada corak nasional, seperti terlibat dalam GAPI, yang sudah
tidak ada identitas Islamnya lagi.
Upaya SM. Kartosuwiryo ini rupanya
mendapat dukungan yang lebih besar dari masyarakat yang masih konsekwen dengan
Islam, ini bisa dilihat dengan perkembangan yang cukup pesat, dari dua cabang
saja yang pada saat baru berdirinya KPK PSII, telah meningkat menjadi dua puluh
dua cabang pada Maret 1940, bahkan boleh dikatakan dimana ada cabang PSII Abi
Kusno, disitu akan berdiri pula cabang PSII kedua yang tetap konsekwen dengan
politik hijrah.
3. Lahirnya Institut Suffah
Bermaksud mencontoh
pola Rasulullah s.a.w pada awal perkembangan hijarahnya ke Yatsrib dengan
membentuk masyarakat yang Isalam dan lembaga pendidikan serta pengkaderan, maka
SM. Kartosuwiryo berusaha mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan pengkaderan
yang bernama “Institut Suffah”. Lembaga ini diharapkan akan menjadi modal utama
dalam usaha melahirkan “Darul Islam” dikemudian hari. Gagasan ini sesungguhnya
sudah lama dicanangkan sejak kongres pada tahun 1937 di Surabaya. SM.
Kartosuwiryo yang sungguh mengerti akan pentingnya lembaga kaderisasi
kepemimpinan dan yang memberi perhatian pada bidang ini dalam brosus hijrahnya,
diberi kepercayaan untuk mendirikan suatu lembaga yang direncanakan guna melatih
kader-kader pimpinan Islam yang “militan” oleh kongres partai saat itu. Tetapi
ketika pimpinan PSII memutar haluan politiknya ke Parlementer, maka partai tidak
ada lagi minatnya terhadap rencana tersebut. Namun SM. Kartosuwiryo dengan
kesungguhan hati meneuskan persiapan guna pembentukan lembaga pengkaderan dari
penyesuaian itu, dengan pola Rasulullah s.a.w. Lembaga yang dimaksudkannya tidak
lagi terikat dengan PSII lama. Pimpinan Abi Kusno cs yang dirasakannya telah
mengkhianati perjuangan ummat Islam Indonesia, lembaga ini akan menjadi lembaga
pendidikan yang terikat dan diawasi oleh PSII kedua, tegasnya PSII
hijrah.
Setelah rencana itu disyahkan oleh kongres PSII kedua pada Maret
1940. Didirikan “Institut Suffah” yang beralokasi di Malangbong, dengan
institute ini paling tidak ada dua target yang dapat digarap. Pertama, membentuk
para mujahid, kader-kader yang militan, yang kuat aqidahnya dan menguasai ilmu
Islam yang nantinya mampu menggerakkan jihad fisabilillah, termasuk jihad dalam
arti “fisik” menumbangkan dominasi penguasa-penguasa dzolim, dalam rangka
menegakkan Daulah Islamiyyah. Kedua, menciptakan masyarakat yang Islami, dengan
mulai pengenalan serta penerapan mulai dari sistem hidup dengan Islami bagi
setiap pribadi, masyarakat Malangbong dan sekitarnya menjadi objek bagi
pelaksanaan program ini, yang bisa diharapkan menjadi basis kekuatan dan pusat
komando gerakan jihad ummat Islam dikemudian hari. Jihad adalah merupakan tindak
lanjut daripada hijrah, sebab sikap hijrah tidak dianggap absah bila tidak
diiringi dengan jihad.
Lembaga pendidikan Suffah ini disusun menurut
sistem pesantren dan madrasah, menghasilkan hubungan yang sangat erat antara
guru dengan murid / siswanya. Guru disini, disamping pendidik dan pengajar juga
berfungsi sebagai contoh suri tauladan (Uswatun Hasanah) bagi para siswanya
dalam menerapka nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus sebagai
pemimpin dan pembimbing yang membawa para siswanya kearah mardhotillah di dunia
dan akhirat. Disini para siswa akan digamblang selama empat atau enam bulan,
sehingga mereka benar-benar menjadi kader yang tangguh dan militan, yang bisa
diharapkan menanamkan dan menyebarkan idea serta cita-cita Islam dikalangan
masyarakat dimana mereka akan kembali.
Kebanyakan yang datang menjadi
siswa disini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Parahiyangan, ada juga
yang dari jauh seperti dari Banten, Wonorejo, Cirebon, bahkan dari Toli-toli dan
Sulawesi Utara. SM. Kartosuwiryo, selaku pimpinan lembaga ini, beliau memegang
pelajaran ilmu Tauhid, untuk menanamkan aqidah dan keyakinan pada siswa,
diuraikannya pengertian kalimah (Lailaha ilallah), yang merupakan dasar serta
sumber segala aspek kehidupan ummat Islam, uraiannya secar sepintas bisa kita
lihat seperti di bawah ini :
Artinya : Tidak ada yang maujud kecuali atas
idzin dan takdir Allah, hal ini untuk membulatkan aqidah dan keyakinan bahwa
setiap kejadian baik yang terjadi atau yang menjadi, baik yang disengaja oleh
manusia ataupun yang tidak, baik yang sesuai dengan keinginan atau tidak, yang
bersifat biasa atau luar biasa, yang manis yang pahit, yang baik maupun yang
buruk, itu semua atas kodrat dan irodat Allah atas kuasa dan kehendak Allah
SWT.
Disini posisi makhluk termasuk manusia tidak ada peran sama sekali
yang berpengaruh dalam mewujudkan sesuatu, ia hanya dijadikan salinan dan
sambungan belaka. Daya ikhtiar dan akal pikiran manusia bagaimanapun besarnya
tidak akan mampu mewujudkan sesuatu tanpa idzin dan kuasa Allah, ikhtiar dan
akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan
kehendak Allah yang mutlak, karena itu manusia harus menyadari akan kelemahan
dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati, segala hidup dan kehidupan
bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak punya daya dan
kuasa sedikitpun kecuali atas kehendak dan kuasa Allah, inilah yang dikatakan
Wahdatul Maujud (1).
Tidak ada yang berhak disembah (di-ibadati), kecuali
Allah setelah meyakini Mahdatul Maujud, artinya segala sesuatu yang maujud
selain Allah, itu semua tergantung kepada qudrat dan iradat Allah, kita harus
meyakini bahwa semua yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang
sia-sia, tetapi semua kejadian itu dijadikan untuk menjadi sarana dan medan
pengabdian manusia kepada Allah. Seorang mukmin harus bertekad bahwa segala
takdir yang terjadi pada dirinya, dimana saja, kapan saja dan bagaimana saja,
akan dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah, sebab kalau kosong
dari nilai ibadah kepada Allah, dia akan terjebak ke dalam Syirik (mengabdi
kepada selain Allah atau Maksiat (durhaka kepada Allah)), hal ini disebut
Wahdatul Ma’bud / Taukhidul ‘ibadah (2).
Tidak ada yang dicari untuk
ditaati dan dicari untuk dihindari, kecuali perintah dan larangan Allah. Setelah
meyakini bahwa setiap takdir yang datang kepada kita adalah untuk sarana ibadah
(pengabdian kepada Allah), maka kita harus yakin bahwa setiap takdir yang datang
kepada kita ini mengandung perintah dan larangan dari Allah yang terperinci,
melaksanakan sistem hidup yang digariskan dari Allah, pada setiap tempat, setiap
saat dan setiap keadaan. Kita harus berusaha untuk mewarnai kehidupan kita
sehari-hari dengan warna Islam saja. Jangan sesaat pun diri kita lepas dari
nilai Islam yang telah kita yakini sebagai satu-satunya Dienullah : sistem hidup
yang digariskan Allah yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunua dan akhirat.
Inilah Mahdatul Matlub, artinya : kebulatan dan langkah sepanjang aturan Allah
SWT.
Tidak ada yang dimaksud (dituju), kecuali keridhoan Allah setelah
kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek
kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan yang
haqiqi, yaitu keridhoan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur,
ambisi dan tujuan-tujuan duniawi dan bisa menghapuskan nilai amal
kita.
Jadi kita melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
laranganNya, melaksanakan sistem-sistem Islam dan menjauhi sistem Thoghut, itu
tujuannya semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah, bukan yang lainnya. Inilah
Wahdatul Makshud (satu tujuan hanya untuk Allah). Empat perubahan diatas ini,
adalah merupakan inti dari ajaran yang diterapkan dalam Institut Suffah, dalam
usaha membentuk pribadi Muwahid (serba satu-satu dalam aqidah, satu dalm niat
(niat ibadah), satu dalam perbuatan, yaitu menurut sistem Allah, dan satu dalam
tujuan, yaitu mencari ridha Allah. Dalam istilah lain dikatakan Minallah (dari
Allah) ‘alallah (di atas jalan Allah) dan Ilallah (menuju
Allah)).
Disamping ilmu tauhid dan ilmu-ilmu lainnya d\seperti Ubudiyyah,
Akhlak Sirath Rasul, Tasawul, juga ilmu pengetahuan umum dan keterampilan
diajarkan disini, seperti bahasa Belanda, bahasa Arab, bercocok tanam, menanam
dan membuat anyaman. Kemudian pada awl tahun 1944 dalam masa penjajahan Jepang,
Suffah meningkatkan aktifitasnya menjadi pusat pelatihan militer untuk daerah
parahyangan, dan dari sana terbentuklah kesatuan militer yang bernama
“Sabilillah” yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia dikemudian
hari.
Demikianlah sekilas melihat dasar sistem kurikulum dan tujuan
pendidikan, serta pengkaderan lembaga Suffah, yang sangat berbeda dengan sistem
pendidikan isalam lainnya, semacam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah
yang tidak mempunyai arah yang pasti dalam perjuangan-perjuangan menegakkan
Islam, juga di Suffah ini diselenggarakannya sistem bai’at yaitu ikrar dan janji
setia kepada allah yang disaksikan oleh pimpinan, yang merupakan syarat
berjama’ah dalam Islam, sehingga mereka terikat dengan sikap mendengar dan ta’at
terhadap pimpinan juga ukhuwah (persaudaraan) dikalangan para siswanya dengan
kuat.
BAB III. PERANAN UMAT ISLAM DALAM PERGERAKAN NASIONAL
1.
Golongan Islam parlementer dan MIAI
Diluar jalur syarekat islam, ada
beberapa organisasi islam yang didirikan, meskipun sesungguhnya tidak dibenarkan
oleh islam adanya lebih dari satu jama’ah dalam waktu dan tempat yang sama,
namun demikianlah kenyataan sejarah sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-mu’minun ayat 52 & 53 yang dalam istilah Al-Qur’an dan Al Hadits
disebutkan diluar jama’ah adlah “Firqoh”, dan Firqoh itu dilarang dalam umat
islam. Sebab firqoh itu akan menimbulkan bencana yang besar bagi umat islam
seluruhnya. Diantaranya, sebuah organisasi sosisal islam yang didirikan pada
tanggal 18 november 1912 di Yogyakarta, yaityu yang bernama “muhammadiyah”.
Organisasi ini didirikan oleh pendirinya, yaitu K.H Ahmad Dahlan, atas saran
yang dianjurkan oleh murid-muridnya dan beebrapa anggota budi utomo, untuk
merelisir program sosial dan mendirikan suatu lembaga parlemen yang bersifat
parlemen. Jadi muhammadiyah bukanlah organisasi politik yang mempunyai gagasan
untuk menegakkan Daulah Islamiyah, Sebagai syarat berlakunya sistem secara
keseluruhan, tapi ia sebagai syarat berlakunya sistem secara keseluruhannya,
tapi ia hanya merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan
saja, yang merupakan satu keping dari sistem Islam yang sempurna. Atas ajakan
HOS Cokroaminoto, organisasi sempat masuk bergabung kedalam PSIIm, namun
penggabungannya, rupanya tidak mau meninggalkan baju
muhammadiyahnya.
Setelah diberi peringatan berkali-kali, dan tidak
ditanggapi maka pimpinan PSII mengadakan tindakan disiplin terhadap
organisasi-organisasi ini, Muhammadiyah dikeluarkan dari PSII pada tahun 1927.
Dalam bidang furu (cabang-cabang ‘ubudiyah)organisasi ini membawa faham aliran
muhammad bin abdul wahab yang bersifat reformis (pembaharuan) menurut faham
mereka, melaksanakan syarat tanpa mazhab tanpa melalui mazhab yang empat,
dianggap sebagai mempermainkan dan merusak Syarikat itu sendiri, maka wajarlah
kalau mereka memandang gerakan wahabi yang dilakukan muhammadiyah ini sebagai
bahaya besar dan fitnah dalam Agama.
Mereka tergerak hatinya untuk
mengadakan usaha-usaha membendung pengaruh gerakan tersebut, demi memperhatikan
faham yang mereka sebut sebagai faham ahlusunnah wal jama’ah, untuk keperluan
ini pada tahun 1926 didirikanlah organisasi sosial yang bernama Nahdatul ‘Ulama
yang kebangkitan para ulama, oleh pendirinya yaitu K.H Hasyim Asari , seorang
ulama yang memimpin pondok pesantren yang tersebar di tiap-tiap pelosok.
Organisasi ini dalam waktu singkat berhasil meraih banyak anggota dari kalangan
masyarakat awam,. yang sejak lama dicekoki dengan faham taklid
buta.
Dengan berdirinya Nahdatul Ulama (NU) ini, Ummat Islam tenggelam
dalam pertentangan sengit antar sesamanya, hanya memperdebatkan masalah-masalah
kecil saja. Sedangkan masalah-masalah besar dan prinsip seperti masalah aqidah,
jihad dan daulah islamiyah mereka lupakan dan mereka tinggalkan,
pertentangan-pertentangan ini akhirnya meningkat menjadi permusuhan. Orang-orang
Muhamadiyah menganggap orang-orang NU sebagai musuh yang telah keluar dari
sunnah, sebaliknya orang NU menganggap orang-orang Muhammadiyah adalah musuhnya
bukan yang lain. Melihat kenyataan ini, para pemimpin dari kedua belah pihak
merasa prihatin. Untuk itu mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan yang
dihadiri oleh utusan-utusan kedua belah pihak, dari pertemuan yang diadakan di
Cirebon itu, menghasilkan suatu permufakatan, untuk segera membentuk suatu wadah
/ federasi yang dapat menampung aspirasi dari kedua belah organisasi tersebut,
maka pada tahun 1937, berdirilah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang
bersifat non politik. Ditekankan untuk meninggalkan masalah-masalah yang menjadi
titik pertengkaran dan mengalihkan perhatiannya kepada masalah-masalah besar,
yaitu aqidah dan menentang kedzoliman.
Pimpinan (MIAI), namun Abi Kusno
Cokro Suryono yang saat itu menjadi ketua partai dan masih konsisten dengan
sikap hijrahnya, menolak ajakan tersebut, bahkan ia balik mengajak mereka untuk
bergabung saja kedalam PSII karena menurut pendiriannya, PSII-lah yang berhak
disebut Al jama’ah, dan yang paling awal berdirinya dan yang lainnya adalah
firqoh, yang dilarang dalam islam. Tetapi setelah kelompok Abi Kusno berputar
haluan dari hijrah ke parlementer, dan setelah ia bergabung dalam GAPI, ajakan
MIAI yang dulu ditolaknya sekarang diterimanya dengan kedua belah tangan
terbuka, dengan motif untuk menciptakan Wahdatul Ummah (Persatuan Umat Islam).
Maka pada tahun 1939, Abi Kusno cs resmi bergabung ke dalam MIAI menjadi
satu-satunya wadah perjuangan politik ummat islam yang berhaluan
parlementer.
Karena konsisten dengan konsep hijrahnya, tidak terdapat
tanda-tanda bahwa SM. Kartosuwiryo beserta PSII keduanya, mempertimbangkan
kemungkinan masuk ke dalam MIAI, sebab menurut pendapatnya betapapun besarnya
persatuan umat islam, kalau tanpa hijrah, maka tidak ada harganya sama sekali
dalam perjuangan islam.
2. Masa Pendudukan Jepang Dan Berdirinya
BPUPKI
Hindia Belanda terlibat dalam perang Asia Pasifik, segera setelah
serangan udara jepang terhadap Pearl Harbour pada Desember 1941. Segera setelah
mendengan berita tentang serangan itu dari pernyataan perang Jepang terhadap
Amerika dan Inggris pemerintah Belanda dan mengasingkan di London menyatakan
perang terhadap Jepang. Penjelasan ini disampaikan kepada mentri luar negri
Jepang 10 Desember 1942. Pasukan Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda pada
awal bulan berikutnya. Tentara Hindia Belanda pun menyerah pada 5 maret 1942,
tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti.
Dengan kejadian
(mengejutkan) ini, pada mulanya bangsa Indonesia terutama yang bergabung dalam
MIAI, menaruh harapan bahwa Jepang akan mengikut-sertakan orang Indonesia, turut
ambil bagian yang lebih aktif dan memegang peranan dalam menentukan
kebijaksanaan politik dan memperbaiki sosial bangsa Indonesia. Ternyata harapan
itu buyar sama sekali dengan diumumkan dekrit panglima militer Jawa (ma’lumat
no. 3 pada 30 Maret) yang melarang membicarakan dalam bentuk apapun struktur
bangsa Indonesia. Dekrit ini ditempatkan dalam tindakan keras membekukan dan
membuyarkan organisasi-organisasi politik dari semua aliran, baik yang sosialis
komunis yang nasionalis sekuler ataupun yang nasionalis islam termasuk
didalamnya MIAI, barulah mereka tahu bahwa Jepang tidaklah lebih baik daripada
Belanda, bahkan tentara Dai Nippon ini lebih licik, lebih kejam, lebih sadis,
tanpa ada pertimbangan prikemanusiaan lagi.
Namun para pemimpin gerakan
indonesia khususnya tokoh MIAI, selalu berusaha memohon dan mendesak penguasa
militer jepang agar diberi hak berkumpul dan berorganisasi. Untuk dapat
berkiprah dalam pelajaran sosial masyarakat. Akhirnya pihak jepang pun
mengabulkan permohonan mereka untuk mngizinkan kembali organisasi-organisasi
yang telah dibubarkan, dengan persyaratan yang ketat dan pengawasan yang tajam,
maka pada bula Desember 1943 atas restu penguasa, dirikanlah organisasi islam
Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) sebagai penjelmaan MIAI yang telah
dibekukan itu.
Sementara SM. Kartosuwiryo dan PSII kedua yang pernah
dipaksa untuk mengakhiri segala kegiatannya, sebagai realisasi dari dekrit
militer itu, namun SM. Kartosuwiryo yang saat itu mencurahkan segala
perhatiannya untuk mengelola “Institut Suffah”, karena sikap hijrahnya yang
melarang menta’ati selain Allah, tidak menghiraukan dekrit militer itu. Dibantu
oleh faktor lokasi yang letaknya agak jauh dari pusat politik dan pemerintahan,
yang memungkinkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari penguasa. SM.
Kartosuwiryo melanjutkan program-program suffahnya tanpa pernah berhenti,
meskipun kadang-kadang untuk mengelanui pengawasan, dia harus merubah-rubah
siasat dan taktik, misalnya dengan cara sembunyi-sembunyi atau dengan cara
menyusupi jumlah muridnya dalam setiap angkatan.
Ketika pasang perang
beralih, dimana posisi jepang terdesak oleh pihak sekutu, maka dengan mengharap
memperoleh dukungan bangsa indonesia, dengan memperkenankan mereka mengambil
peran yang lebih aktif dalam urusan Negara, serta kebebasan bergerak yang lebih
leluasa. Orang indonesia kini diperkenankan membentuk organisasi bersenjata
sendiri. Pertam pada tahun 1943 PETA (Pembela Tanah Air). Kemudian pada akhir
tahun 1944 dibentuklah “Hazbbullah”, sebagai Pasukan bersenjata Masyumi. Hal ini
dipandang oleh SM. Kartosuwiryo sebagai suatu kesempatan yang baik untuk
meningkatkan kegiatan institut suffah, dari pendidikan biasa menjadi pusat
militer. Sehingga siswa-siswa suffah nantinya akan benar-benar menjadi
kader-kader Mujahid Militant, karenma beliau sadar betul, bahwa pwrjuangan islam
tidak akan mungkin berhasil tanpa didukung oleh kekuatan senjata (militer),
seperti dinyatakn oleh Allah dalam surat Al-Hadid ayat 25, bahwa besi yang
mengandung kekuatan besar itu diciptakan untuk mengawal perjuangan
Islam.
Demi kader-kader Suffah inilah kemudian dibentuk kader-kader
gerilyawan Islam yang utama, yaitu Sabilillah dan Hizbullah, yang akan menjadi
inti tentara Islam Indonesia di kemudian hari.
Posisi jepang semakin hari
semakin terdesak dalam perang melawan sekutu, diperkirakan tidak akan bertahan
lama lagi jepang menduduki daerah jajahannya, dengan pertimbangan daripada
Indonesia ini jatuh ke tangan sekutu, lebih baik diserahkan kepada pimpinan
nasional negeri itu sendiri. Maka pada tanggal 1 maret 1945 panglima tertinggi
jepang menjanjikan kemerdekaan kepada indonesia sebgai penegasan daripada janji
yang pernah disampaikan oleh perdan menteri Kino, pada tanggal 7 September 1945
Panglima Tertinggi jepang menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia sebagai
penegasan darpada janji yang pernah di sampaikan oleh perdana menteri Kino pada
7 September 1944 untuk keperluan ini maka dibentuklah suatu panitia Penyelidik
Periapan Kemerdekaan (BPUPKI). Susunan panitianya disusun pada tanggal 29 April
1945, terdiri dari 62 orang dengan Dr. Rajiman Wediodingrat sebagai
ketuanya.
3. Peranan Ummat Islam Masyumi
Panitia penyelidik ini
terdiri dari beberapa aliran idiologi dan agama yang ada di Indonesia, baik dari
sosialis komunis, nasionalis sekuler juaga nasional Islam, pihak Islam hanya
menduduki 25 % saja dalam panitia ini, yakni 15 orang komposisi panitia ini
dititik berartikan kepada faktor ideologi oleh karenanya golongan nasionalis
Islam menjadi pihak mayoritas sehingga sedikitnya bisa mewarnai keputusan dalam
musyawarah nanti. Disana duduk tokoh-tokoh Islam terkenal seperti Abu Kusno cs,
Agus Salim, Sukiman, Mas Mansur, Ki Bagus Hadi Kusumo, Abdul Salim Kahar
Muzakir, Ahmad Sanusi, Abdul Walid Hasyim dan sejumlah tokoh Islam Lain,
berdampingan dengan tokoh-tokoh Islam terkenal seperti : Soekarno, Muhammad
Hatta, Muhammad Yamin dll.
Dalam rangka sidangnya panitia ini, yang
diadakan dua tahap, pertama dari tanggal 29 mei sampai 1 juni dan yang kedua
berlangsung dari tanggal 10 sampai 16 juli 1945 tetapi perselisihan pendapat
yang tajam dalam menentukan bentuk dan dasar uang akan lahir nanti. Satu pihak
menginginkan dasar kebangsaan, dan pihak lain menghendaki dasar islam, Sementara
ada pihak lain yang mengusulkan dasar sosialis komunis setelah diadakan
pemungutan suara, ternyata hanya 15 suara sa dari 60 suara yang memilih dasar
islam, selebihnya memilih dasar nasionalis sekuler ini yang intinya telah
disampaikan oleh Ir. Sukarno dalam pidatonya pada tanggal 1juni disidang pertama
BPUPKI, yangkemudian dikenal dengan nama Pancasila itu adalah merupakan suatu
filsafat yang bersumber dari buah pikiran Dr. Suto tan sen, melalui tulisannya
yang berjudul “San Min Hui” atau “The Tree People’s Priciples”, dan digabung
dengan buah pikiran Adilf Bears tentang Sosialisme, ini seperti yang diakui oleh
sukarno sendiri kemudian untuk memenuhi tuntutan dari pihak nasionalis islam
agar dasar kebangsaan indonesia adalah pemeluk islam. Maka dibentuklah panitia
kecil terdiri dari 9 orang. Dari sidangnya yang diselenggarakan pada pertengahan
juni, panitia ini berhasil memutuskan suatu kesepakatan yang akhirnya disebut
“Piagam Jakarta”, yang ditandatangani bersama pada tanggal 22 juni 1945, ada
sedikit warna islam yang tercantum dalam preem bul piagam jakarta ini, yaitu
kalimat ke Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Sesungguhnya, kalau kita analisa dengan cermat, hal ini
adalah suatu yang tidak mungkin untuk dilaksanakan, mengingat mayoritas panitia
dominir oleh nasionalisme sekuler yang seleranya bertentangan dengan
Islam.
Namun Golongan nasionalis islam cukup merasa puas dengan hasil
ini, merekatidak perlu lagi curiga dengan sikap kaum sekuler, yang setiap saat
selalu mencari kesempatan untuk menghapus nilai-nilai islam dari dasar, dan dari
kehidupan bangsa indonesia setelah merdeka nanti.
Kemerdekaan yang
dijanjikan oleh pihak jepang sekitar bulan september yang akan datang, tapi
ternyata saat itu akan datang lebih cepat lagi dari rencana, setelah pihak
sekutu menjatuhkan bom atom di pusat pemerintahan jepang, Hiroshma &
Nagasaki pada tanggal 6 Agustus 1945, disusul dengan pernyataan Hirohito, jepang
menyerah tanpa Syarat kepada sekutu pada tanggal 14 agustus 1945. Oleh sebab
itu, sebelum penguasa meninggalkan indonesia, merek memanggil anggota-anggota
panitia penyelidik untuk bersiap-siap menerima dan mengumumkan kemerdekaan
sebelum tentara sekutu masuk ke indonesia.
4. Proklamasi RI yang
Sekuler
Maka 5 hari setelah pernyataan menyerahnya jepang tegasnya pada
tanggal 17 agustus 1945, Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, 18 agustus 1945
panitia persiapan kemerdekaan yang baru dibentuk segera bersidang. Panitia
persiapan ini dibentuk atas izin jepang, terdiri dari 21 orang dengan Sukarno
sebagai ketuanya Hatta sebagai wakil ketua, kemudian atas saran Sukarno, enam
orang anggota ditambah, sidang panitia kali ini dimaksudkan untuk membahas
secara final tentang dasar negara yang telah dirumuskan oleh panitia penyelidik,
yang dianggap masih mengambang, terutam, tentang piagam jakarta yang dianggap
oleh golongan non muslim sebagai tidak adil, bahkan mereka berasal dari
indonesia, apalagi piagam jakarta tidak dihapus.
Pihak nasionalis Islam
yang minoritas, hanya empat orang saja dalam panitia ini, yaitu kasman singa
dimeja, teuku Muhammad hasan,Ki Bagus, Kusumo dan pihak sekuler yang berusaha
dengan gigih untuk menghapus piagam jakarta yang dianggap penghalang besar bagi
tercapainya cita-cita rendah mereka. Akhirnya setelah dibujuk, dirayu, dam di
tekan, keempat wakil kalangan islam itu menyerah, merelakan dihapuskannya piagam
jakarta dan semua kalimat-kalimat corak islam, dari pembukaan dan batang tubuh
undang-undang dasar. Maka pada hari itu juga, tepatnya jam 13.45,mereka beserta
anggota panitia persiapan yang lain, menandatangani priembule dan batang tubuh
UUD yang telah dibersihkan dari nilai-nilai islam. Maka lahirlah republik
Indonesia sebagai negara sekuler murni, yang menolak hukum-hukum Allah secara
keseluruhan, melalui sidangnya yang terakhir yang diselenggarakan pada 22
agustus, panitia persiapan berhasil membentuk struktural Pemerintahan yang
sebagian besar dikuasai oleh tokoh-tokoh sekuler dan sosialis komunis, yang siap
menggiring umat Islam bangsa Indonesia kedalam lumpur kekufuran, kemusyrikan,
dan kemunkaran. Perjuangan Masyumi yang beahaluan parlementer ternyata gagal
total, hasilnya nol besar, dan sesuai dengan ketentuan yang diabadiakan dalam
Al-Qur’an, sebagaimana yang telah dibahas dalam mukadimah, bahwa perjuangan
islam dengan jalan kerjasama dalam bentuk satu wadah (parlemen) dengan
orang-orang non muslim (kafir, musyrik, dan munafik) akan menimbulkan kerugian
dan kegagalan serta kemunkaran Allah semata.
5. Masa Penjajahan Belanda
Yang Ke Dua Kali
Setelah Jepang menyerah dan harus segera meninggalkan
Indonesia, maka tentara sekutu bersiap-siap untuk mengambil alih Indonesia dari
tangan Jepang. Tentara sekutu yang diwakili oleh Inggris masuk ke Indonesia pada
tanggal 20 september 1945, melalui Jakarta dan Surabaya, dengan maksud segera
memulangkan tentara Jepang ke Negaranya sendiri. Namun rakyat Indonesia,
terutama umat islamnya, yang sedang demam kemerdekaan, kehadiran menentang
tentara sekutu. Maka pada tanggal 10 november 1945, bung Tomo dengan gema
kalimah “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, berhasil menggerakkan ummat islam di
Surabaya untuk melawan sekutu, yang menjadi marak setelah rakyat menculik, lalu
membunuh seorang jenderal sekutu yang bernama Malaby pada hari sebelumnya.
Arek-arek surabya ternyata bukan imbangan bagi tentara sekutu yang sudah
professional itu, dan mereka pun lebih leluasa di indonesia. belanda tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang selalu ditunggu-tunggunya itu, mereka pun kembali
masuk ke indonesia dengan membonceng kepada sekutu, setelah pihak sekutu
meninggalkan indonesia, maka dengan ambisi kolonialnya, Belanda mencengkramkan
kuku penjajahan di negeri ini untuk kali yang ke dua. Belanda menuduh kepada
Negara RI yang di proklamirkan pada tanggal 17 agustus 1945 itu tidak syah,
karena merupakan bikinan jepang yang sudah takluk kepada sekutu, Republik yang
masih muda dengan angkatan perang yang masih relatif lemah itu, ternyata tidak
berdaya menghadapi tentara belanda yang sudah berpengalaman itu.
tentara
jepang tidak mau menyerahkan persenjataaannya kepada pihak republik, kecuali
yang disebut secara paksa oleh rakyat yang sudah merasa muak dengan penjajahan,
sebab jepang takut kalau-kalau dituduh oleh sekutu menghidupkan dan membantu
Republik, padahal itu bertentangan dengan penjajahan dengan perjanjian yang
telah dapat bersikap mengalah saja dalam menghadapi banyak mempunyai senjata
ini, hanya dapat bersikap mengalah saja dalam menghadapi tekanan Belanda,
meskipun ada perlawanan gerilya dari satuan-satuan militer, tetapi itu tidak
banyak berarti bagi menggoyahkan kekuatan koloni. Oleh karena. Oleh karena
itulah, pimpinan republik lebih memilih jalan diplomasi daripada kekerasan dalam
menghadapi belanda, padahal jalan kompromi itulah yang mendatangkan berbagai
kerugian bahkan kekecewaan bagi republik ini dikemudian hari. Tragis memang, RI
sebagai pihak yang kalah dan lemah, sementara belanda sebagai pihak yang kuat
dan menang, tentu saja mereka akan bisa mendikte dan melaksanakan setiap
kehendaknya dalamsetiap diplomasi dan pengundian. Pada bulan maret 1947,
Diadakan perundingna diantara kedua belah pihak yang terkenal dengan nama ‘
Perjanjian Linggar Jati’. Isinya sangat merugikan pihak republik, karen wilayah
republik hanya diberi wilayah Jawa dan Sumatera saja, sedangkan wilayah lain
yang terhampar sangat luas itu dinyatakan sebagai daerah
pendudukannya.
Baru empat bulan perjanjian itu berlangsung, Belanda telah
membuat pengkhianatan, dengan melancarkan agresi militernya yang pertama, pada
bulan juli pada tahun ini juga. Menghadapi agresi militer ini republik tidak
dapat berbuat banyak, Akhirnya mereka ditekan oleh belanda untuk menandatangani
perjanjian baru, yaitu “Perjanjian Rnville”, pada januari 1948. Dengan
perjanjian Renville ini akan terlihat jelas bahwa, ternyata pimpinan republik
ini terdiri dari para pengecut, tak punya harga diri dan mengabaikan tanggung
jawab sama sekali. Pimpinan RI sampai hati menyerhkan sebagian besar rakyat
wilayah bangsa indonesia kepada pihak penjajah, untuk ditindas dan diperas,
sebab isi perjanjian Renville ini diantaranya adalah :
- Wilyah RI hanya
Yogya dan sekitarnyayang terdiri dari 7 karesidenan yang biasa disebut dengan
daerah demokrasi “Van Mook”.
- Ibukota RI harus dipindahkan dari Jakarta
ke Yogya.
- Seluruh kesatuan TNI dan gerilya lainnya harus ditarik dan
kantong-kantongnya untuk menuju ke Yogyakarta.
Akibat dari naskah
Renville ini, maka RI memboyong seluruh aparatur pemrintahannya dan perlengkapan
administrasi negara dari Jakarta ke Yogyakarta, maka harus menarik satuan-satuan
gerilyanya dari berbagai daerah untuk menghimpun di Yogyakarta. Dalam hal ini
termasuk revisi Siliwangi yang mengawasi Jawa barat harus meninggalkan daerah
dan rakyatnya. secara logika dengan tindakannya ini berarti Siliwangi telah
mengkhianati rakyat Jawa barat yang mayoritas muslim, dengan menyerahkan ke
cengkraman kaum penjajah yang ganas dan kejam. Sementara Siliwangi sendiri
menyelamatkan diri ke Yogyakarata. Padahal sudah cukup besar jasa dan bantuan
yang diberikan oleh rakyat Jawa barat terhadap penyembuhan dan kehidupan
Siliwangi.
Setelah pimpinan republik dan satuan-satuan tentara berkumpul
di Yogyakarta, timbul rasa was-was dan khawatir terhadap kemungkinan belanda
pada suatu saat akan mengepung dan menyerah mereka, karena memang Belanda sudah
tidak bisa dipercaya lagi untuk bisa dan teguh memegang janji, sebagaimana
dengan tindakannya dalam agresi militer pertama yang mengkhianati naskah
perjanjian Linggar Jati. Untuk menghadapi kemungkinan ini, maka dengan siasat
militer yang diketuai Soekarno-Hatta, yang beranggotakan antara lain : Jendral
Sudirman, A.H Nasution, TB. Simatupang, mengadakan musyawarah yang memutuskan
untuk bergerilya mengadakan perlawanan dengan sekuat tenaga, bahkan untuk
Soekarno-Hatta telah disiapkan tempatnya di daerah Sami Galih, Yogyakarta.
Keputusan untuk bergerilya ini dikuatkan pula dengan pertemuan yang dihadiri
oleh Hamengkubuwono ke IX. Sudirman dan Soekarno-Hatta pada bulan Mei 1948 yang
memutuskan bahwa pemerintah akan segera meninggalkan Yogya dan bergerilya,
apalagi Belanda melancarkan serangan ke pusat pemerintahan Republik di
Yogyakarta.
Perkiraan itu pun akhirnya menjadi kenyataan, menjelang
Shubuh, ahad 19 desember 1948, pasukan khusus Belanda menduduki lapangan udara
Maguwo yang sekarang bernama Adi Sucipto dan beberapa jam kemudian, ibukota
republik Yogya diduduki Belanda. Soekarno-Hatta sebagai pimpinan republik
menjadi kecut dan panik menghadapi kenyataan itu, tekadnya untuk melawan dan
bergerilya, serta semangat yang pantang mundur yang telah diumumkan dihadapan
para pimpinan militer, menjadi lumer di telan sifat pengecutnya yang sangat
memalukan, Soekarno merasa ragu dengan kekuatan militernya untuk mampu
menjalankan kehidupan di hutan belantara. Maka dalam sidang yang diadakan di
gedung agung yogya, Soekarno memutuskan untuk “menyerah” saja dan yang memilih
jalan gerilya. Berkibarlah bendera putih, menggantikan dwi warna, sebagai tanda
penyerahan tanpa syarat kepada pihak penjajahan belanda. Soekarno-Hatta pun
ditangkap beserta ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan beberapa
menteri kabinet. Pimpinan militer menjadi kecewa dengan perubahan sikap
Soekarno-Hatta yang secara tidak langsung telah meremehkan pihak militer,
apalagi dengan pernyataan “menyerah” yang berarti menyerahkan negeri dan
rakyatnya kepada pihak penjajah, sekaligus menghancurkan nilai-nilai proklamasi
45. Dalam kekecewaannya ini, jenderal Sudirman walaupun dalam keadaan sakit,
memimpin pasukannya untuk meninggalkan Yogya dan bergerilya di Hutan-hutan.
Namun tidak banyak yang dapat diperbuat oleh pasukan gerilya ini, karena
terbentur dengan beberapa faktor antara lain :
- Pengkhianatan pihak
Civil, yang tidak konsekuen dengan sikap dan strategi yang telah diputuskan
bersama.
- Sakitnya jendral Sudirman yang semakin parah. Sehingga sebagai
panglima ia tidak dapat menyusun strategi yang akurat.
- Perlengkapan dan
kemampuan militer yang masih sangat lemah.
Kalau toh sekarang ada
hambatan sejarah tentang serangan umum 1 maret
1949 yang dipimpin oleh
Soekarno sehingga bisa menguasai Yogya selama 6 jam, ini perlu dicek
kebenarannya, sebab sebelum Soekarno menjadi presiden, peristiwa itu belum
pernah terdengar dan tidak tercatat dalam sejarah. Memang dengan Kekuasaan,
sejarah itu bisa dirubah dan diputarbalikkan menurut selera
penguasa.
Dengan peristiwa 19 desember 1948, pengamat sejarah yang jujur
akan menilai dan mencatat”jatuhnya Republik sebagai Negara”, baik secara de
fakto maupun de yure. De yure karena dengan berkibarnya bendera putih tanda
menyerah, jatuhnya martabatnya sebagai Negara. Lalu Indonesia mengalami vacum,
tidak ada pemerintahan yang sah. Tiga hari kemudian, tepatnya 22 Desember 1948,
dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat, terdengar pengumuman terbentuknya pemerintahan
darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafrudin Prawira Negara,
sebagai presiden merangkap menteri pertahanan. Perlu diingat, sesuai dengan
pengakuan Syafrudin sendiri (wawancara Tempo no 43 thn XV, 21 Desember 1985),
bahwa PDRI dibentuk atas dasar inisiatif sendiri beserta kawan-kawan. Bukan atas
dasar mandat Soekarno baik hitam diatas putih ataupun secara lisan. Jadi
Soekarno benar-benar menyerah 100% pada Belanda kala itu, tanpa memperdulikan
jerih payah rakyat Indonesia yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk
mempertahankan kemerdekaannya. Hal ini sangat mengecewakan Mr. Syafrudin,
kekecewaannya bertambah segera setelah diketahui bahwa Soekarno tidak
menghiraukan bahkan meremehkan PDRI. Ini terbukti setelah Soekarno memberikan
mandat kepada Moh. Room dengan Van Royen dari pihak Belanda tanpa sepengetahuan
apalagi persetujuan PDRI, padahal baik secara de facto maupun de yure, Soekarno
bukanlah presiden lagi.perundinagn Room Royen berlangsung dan ditandatangani
pada 7 Mei 1949, yang intinya antara lain Belanda segera menarik pasukannya dari
Yogya karena republik sudah bersedia menjadi Negara boneka semacam negara
pasundan dan yang lain-lainnya. Selanjutnya para pemimpin Republik yang ditawan,
telah dikeluarkan karena sudah siap menjadi aparat (kaki tangan) pemerintah
kolonial belanda, untuk memeras dan menindasrakyat bangsa indonesia terutama
umat islam (mayoritas pendidikan indonesia).
Untuk pengaturan teknis dan
administrasinya sebagai Negara boneka akan segera dibicarakan pada sidang KMB
(Konferensi Meja Bundar) yang aakan diselenggarakan di Den Hag pada bulan
september mendatang. PDRI tidak berdaya menghadapi kenyataan ini, karena memang
kalah pengaruh dengan Soekarno yang licik dan lihai, serta mempunyai bakat
orator (pidato yang memikat), dan menyerahkan mandatnya kepada Soekarno, setelah
keluar dari tahanan. Dengan demikian tamatlah riwayat PDRI, dan tamat pula
riwayat RI sebagai negara merdeka, karena telah berubah menjadi “Negara Boneka”
kolonial, dimasukkan kedalam kebun binatang modern, diikat dan
dikurung.
BAB IV. PROSES BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA
1.
Sikap SM. Kartosuwiryo Terhadap perjuangan Nasional
Tidak ada tanda-tanda
SM. Kartosuwiryo terlibat dalam pergerakan nasional menjelang kemerdekaan yang
diprakarsai Jepang, sikap hijrahnya yang mendarah daging, membuatnya tidak
berminat sama sekali untuk ikut bergabung dalam MIAI, yang kemudian atas campur
tangan Jepang, berubah menjadi Masyumi dan akhirnya masuk menjadi anggota BPUPKI
yang dibentuk atas restu dan prakarsa Jepang, sebab menurut pendirinya BPUPKI
adalah salah satu wadah yang berfungsi untuk mencampur-adukkan haq dan bathil.
Disana dudukkan tokoh-tokoh Muslim dan non muslim yang terdiri dari kelompok
sekuler dan sosialis komunis, bahkan golongan yang kedua ini menduduki posisi
mayoritas dalam komposisi panitia penyelidik tersebut. Sudah barang tentu dari
sidangnya nanti akan menghasilkan suatu idiologi campuran dan UUD campuran,
yaitu dasar islam dan non islam (Jahiliyah), atau mungkin tidak ada warna
islamnya sama sekali. SM. Kartosuwiryo yang melihat gerakan politik nasionalis
muslim yang berhaluan parlementer dengan kacamat wahyu meyakini bahwa akhirnya
mereka gagal dan masuk perangkap kaum sekuler yang lihai dan licik (kaum
munafiq). Sebagaimana firman Allah dalam Alquran dibeberapa surat dan ayat ,
yang telah dibahas di muqodimah dan artikel ini.
Dan keyakinannya ini
akhirnya menjadi kenyataan, tatkala 19 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi
RI, tanpa ada warna Islam sama sekali, sebab sehari kemudian Piagam Jakarta yang
diadakan sebagai pengawal Pancasila dan UUD 45 untuk menuju Islam dihapus oleh
Panitia Persiapan, disusul dengan dibentuknya struktural pemerintahan yang
didominasi oleh golongan sekuler. Saat itu membuat Masyumi (Nasional Islam)
benar-benar masuk kotak. Melihat kenyataan ini, SM. Kartosuwiryo tergerak
hatinya untuk mendekati tokoh-tokoh Masyumi, terutama dari kalangan generasi
mudanya dengan harapan mereka dapat mengambil Ibrah (pelajaran) dari
kegagalannya itu, dan kemudian mau mengambil (kembali) pada “khitah perjuangan
Islam yang benar”, yang telah dijabarkan dalam assunnah, yaitu garis-garis
Hijrah dan Jihad. Kemudian bersama-sama Muhammad Natsir dan kawan-kawannya. SM.
Kartosuwiryo ikut membentuk “Masyumi Baru” pada november 1945, dalam organisasi
ini, yang akhirnya menjadi paratai politik, dan menduduki jabatan sekretaris
umum, sementara jabatan ketua dipegang oleh Muhammad Natsir.
Masyumi Baru
ini dimasukkan untuk mengganti masyumi lama yang dibentuk pada masa jepang, dan
diharapkan akan menjadi satu-satunya wadah politik dan perjuangan bagi semua
kelompok islam, anggaplah ini merupakan salah satu untuk menciptakan Wahdatul
Ummah (Kesatuan Umat Islam). Guna menghadapi kekuatan golongan sekuler, sehingga
akan tampak jelas bahwa Masyumi berjalan diatas garis perjuangan islam.
Sementara ini mereka telah terlibat dalam perjuangan yang bertolak kebangsaan
(Ashobiyah)yang tidak dibenarkan oleh islam. Padahal tokoh-tokoh islam ini mau
berdiri sendiri tanpa tergantung pada lembaga sekuler. Maka cukup mempunyai
potensi yang besar daripada potensi yang dimiliki kaum sekuler, maka mempunyai
dukungan masayang besar, karena memang mayoritas masyarakat Indonesia adalah
muslim. Disamping itu mereka juga mempunyai kekuatan militer yang cukup besar,
yaitu Hizbullah dan Sabilillah.
Ini rupanya yang menjadi sarana SM.
Kartosuwiryo yang telah merangkul orang-orang Masyumi untuk menghimpun seluruh
kekuatan umat Islam, demi mentegakkan Daulah Islamiyah. Soekarno Presiden RI,
melihat Masyumi baru ini sebagai ancaman yang berbahaya bagi kekuatan Republik.
Maka Soekarno berusaha merangkul Masyumi untuk ikut duduk dalam kursi kabinet.
Tentu saja kursi-kursi yang tidak terlalu memegang peranan, termasuk SM.
Kartosuwiryo pun melalui PM. Amir Syafrudin pernah ditawari kursi wakil menteri
pertahanan, namun tawaran itu ditolaknya melalui sepucuk surat yang disampaikan
kepada soekarno, sikap Hijrahnya pula yang mendasari penolakannya tersebut.
tetapi tokoh Masyumi lainnya seperti : Syarifudin Prawira Negara, Moh. Room dan
lain-lainnya menerima tawaran tersebut dan duduklah mereka dalam kabinet
republik. SM. Kartosuwiryo merasa kecewa dengan sikap-sikap tokoh-tokoh Masyumi
ini dan masih mau mengikat diri kepada lembaga sekuler yang ternyata darah
nasionilnya lebih besar daripada darah islamnya, sehingga tidak bisa ditarik
kegaris Islam yang sebenarnya. akhirnya SM. Kartosuwiryo mengambil keputusan
untuk menjauhi Masyumi dan kembali ke Malangbong dengan tidak memegang jabatan
sekretaris umum dan komisaris Masyumi Jawa Barat, dan mengalihkan perhatiannya
untuk menyusun kembali pasukan gerilya Islam Di daerah ini.
Pada tahun
1947 beliau mendirikan Dewan Pertahanan Umat Islam (DPUI) di Garut, dan Majelis
Umat Islam (MUI) di Tasikmalaya. Atas nama Masyumi, kedua organisasi ini
direncanakan untuk memperdalam dan mengkoordinasi perjuanagn Islam ( Umat Islam)
masyarakat Islam setempat melawan belanda, organisasi perjuangan gerilya
disarankan sangat perlu, mengingat keadaannya dalam 3 minggu sesudah mereka
mengadakan aksi militer besarnya, apa yang disebut “aksi polisionil pertama”.
Belanda menduduki kota-kota utama di Prianagn seperti Garut, Tasikmalaya dan
Ciamis. Dengan kedua organisasi ini, SM. Kartosuwiryo berusaha memurnikan
perjuangan islam , dengan menarik semua kesatuan-kesatuan yang terdiri dari
Sabililah, Hizbullah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang selama ini
telah bergabung kedalam organisasi yang bernama Perjuangan Pembelaan Nasional
(PPN) merupakan federasi semua partai politik dan organisasi gerilya yang
beroperasi di priangan. Selain oraganisasi Islam, yang masuk kedalam federasi
ini organisasi-organisasi lain, seperti : PKI, PNI, PARKINDO, SOBSI, BTI. Dengan
usaha SM. Kartosuwiryo ini, maka kekuatan Islam berada dalam kubu tersendiri,
terpisah dan kekuatan non Islam (Sekuler dan Komunis), Tampaklah dengan Jelas
mana Sabilillah (Jalan Allah) dan mana pula Sabili thought (jalan
Syaitan).
2. Pembentukan TII Dan Majelis Islam (MI)
Akibat
persetujuan Renville yang ditandatangani pada bulan Januari 1948, maka kekuatan
republik ditarik dari kantong-kantong gerilya, untuk berhimpun di Yogya.
Termasuk devisi Siliwangi yang menguasai Jawa Barat pun ditarik ke Yogya. Lalu
Jawa barat menjadi kosong tidak ada yang menguasai dan melindungi rakyatnya.
Belanda sudah siap mengambil alih untuk menancapkan kuku penjajahannya kembali.
Menghadapi saat kritis di jawa barat ini. SM. Kartosuwiryo yang memimpin
Hizbullah dan Sabillillah, termasuk Oni Qital yang saat itu menjadi komandan
sabillillah, di daerah pegunungan sekitar ttasikmlaya, guna menjawab (membahas),
kegentingan situasi politik (tidak perlu berhimpun di Yogya), demi
mempertahankan dan meluindungi rakyat jawa barat yang mayoritas muslim, dari
cengkraman Belanda. Mereka pun bersepakat perlu mengadakan pertemuan yang lebih
luas dan lebih lengkap lagi, guna mengatur strategi dan siasat dalam menghadapi
situasi yang selalu berubah.
Pertemuan itu akhirnya diadakan pada tanggal
10dan 11 Februari di desa pang wedasan Kec. Cisayong dalam daerah segitiga :
Malangbong, garut, Tasikmalaya. Hadir para pemimpin Organisasi Islam, Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII), serta para pemimpin Hizbullah dan
Sabillillah.
Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi Cisayong
itu, antara lain :
- Merubah ideologi Islam dalam bentuk Kepartaian
menjadi bentuk kenegaraaan yang konkrit .
- Membekukan Masyumi Jawa
Barat.
- Membentuk Majelis Islam (MI)sebagai pemerintahan dasar ummat
Islam di Jawa Barat, maka seluruh organisasi Islam harus bergabung ke
dalamnya.
- Membentuk tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan
peleburan dari Hizbullah dan Sabilillah.
Untuk memimpin TII ini,
diangkatlah R. Oni Qital, nama lengkapnya Raden Rohani Qital sebagai Panglima
pertama, dengan tugas merencanakan suatu struktur yang konkrit bagi tentara
Islam yang baru didirikan. Mula-mula TII yang berjumlah lebih kurang 4000 (empat
ribu) orang dibentuk menjadi empat batalyion, yaitu :
- Bataliyon I
dipimpin oleh Danu M. Hasan
- Bataliyon II dipimpin oleh Zaenal
Abidin
- Bataliyon III dipimpin oleh Nur Lubis
- Bataliyon IV
dipimpin oleh Adah JaelaniTita Praja.
Sementara komandan, resimen
dipegang oleh Oni Qital Sendiri, Bataliyon Nur lubis bertugas di daerah kec.
Cikoneng dan ci haur beuti, sebagai daerah modal pertama bagi NII. Selain
tentara islam yang sebenarnya, dibentuk pula korps-korps khusus seperti, PADI
(Pahlawan Darul Islam) dan BARIS (Barisan Rakyat Islam). Untuk mengetahui
keadaan musuh, baik kekuatannya maupun kelemahannnya, dibentuk Pasukan Polisi
Rahasia (Intelijen ) yang bernama Mahdiyyin yang berarti terpimpin secara benar,
semua pasukan-pasukan khusus ini langsung dipimpin oleh Oni, yang diangkat
sebagai Amirul Jaisy (Kepala Tentara).
Pada akhir Konferensi di Cisayong,
juga di bahas tentang pentingnya mengangkat seorang imam, yang merupakan syarat
utama dalam melaksanakan syari’ah Islam. Ada dua sistem yang digunakan dalam
pemilihan ini, yaitu : Musyawarah dan Istikhoroh (memohon petunjuk dari Allah),
dengan Shalat dua rakaat, akhirnya para peserta yang tidak kurang seribu ulama
(pemimpin- pemimpin islam)sepakat untuk memilih dengan mengangkat imam. Setelah
melalui pertmbangan-pertimbangan yang cermat,musywarah sepakat memilih SM.
Kartosuwiryo sebagai imam. Sebelum jalan istikhoroh ditempuh dua tahap. Tahapan
pertama, memohon siapa orangnya, ternyata shurah(gambaran) yang ditunjukkan
Allah, seperti yang diakui ustadz H. masduki, salah seorang peserta koferensi
adalah gamabaran SM. Kartosuwiryo. Dan Tahap Kedua, Mohon petunjuk apakah dia
itu termasuk orang yang ikhlas). Jawabannya adalah kalimat : Mukhlisun (termasuk
golongan orang – orang yang ikhlas), dan tidak ada keraguan lagi, seluruh ulama
yang hadir, mufakat untuk memilih dan mengangkat SM. Kartosuwiryo sebagai Imam
untuk Ummat Islam di jawa Barat, dan akhirnya untuk seluruh indonesia. Jadi,
jelaslah bahwa tampilnya beliau sebagai imam, bukan karena ambisi pribadi
sebagaimana dituduhkan orang-orang sekuler (kafir,munafik). Karena toh
diperbolehkan menolak, tentu beliau lebih suka menolak, kemudian memilih orang
lain, tetapi dalam islam tidak ada kamus menolak tugas (amanat) dalam rangka
menegakkan hukum Allah, kecuali harus menjawab : “Aku dengar dan aku taat”,
sebagaiman termaktub dalam Al-Qur’an surat An Nuur ayat 51.
Kemudian SM.
Kartosuwiryo selaku Imam, berusaha menyempurnakan struktur dan administrasi
lembaga MI, sebagai persiapan lahirnya Negara Islam Indonesia. Pada suatu
Koferensi yang diadakan di ci jiho, desa pasir lamcang, kecamatan ci haur beti,
Ciamis, 1 mei 1948, telah disusun rancangan konstitusi yang disebut “Qonun
Asasi”, serta dibentuk Dewan Imamah (Dewan kabinet) dan Dewan Fatwa (Dewan
Penasehat). Didalam Qonun asasi di tegaskan antara lain bahwa Negara Islam
Indonesia adalah sebuah Negara yang berbentuk Jumhuriyah (republik Islam) yang
dipimpin oleh seorang Imam, Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits
Sokheh.
Susunan Dewan Imamah yang pertama, yang dibentuk pada saat itu
adalah sebagai berikut ini :
1. Imam merangkap Kuasa Usaha
(Ketua
Majelis Luar Negri) : SM. Kartosuwiryo
2. Ketua Majelis Pertahanan : R.
Oni Qital
3. Wakil Ketua Majelis Pertahanan : Kamran
Hidayatullah
4. Ketua Majelis Keuangan : Sanusi Partawijaya /
Khadimuddin
5. Ketua Majeli Dalam Negeri : Sanusi Partawijaya
6.
Ketua Penerangan : Tata Arsyad
Susunan Dewan Imamah ini lebih
disempurnakan lagi pada konfrensi selanjutnya. Terutama setelah Negara Islam
Indonesia akan lebih lengkap dan sempurna. Langkah-langkah SM. Kartosuwiryo
tentu saja bertentangan dengan Tokoh-tokoh Masyumi yang telah mengikatkan diri
dengan Republik Sekuler, dan otomatis terikat dengan peralihan renvile yang
mengharuskan mereka berpindah ke Yogya. Mulai sat itulah SM. Katosuwiryo
memisahkan diri dari Masyumi.
3. Tindakan Belanda Terhadap
TII
Setelah pasukan siliwangi meninggalkan Jawa Barat, Belanda segera
mempersiapkan diri untuk masuk keseluruh pelosok Jawa Barat guna menancapkan
kuku-kuku penjajahan kembali. Namun langkahnya terhenti setelah mengetahui masih
adanya satuan-satuan gerilya yang tidak mematuhi perjanjian renvile itu yang
kemudian mengkoordinasikan diri menjadi Tentara Islam Indonesia. Tentara
menghubungi Jendral Sudirman di Yogya, Sebagai penanggung jawab perjanjian
renvile untuk segera memerintahkan satuan-satuan gerilya yang masih ada di Jawa
Barat untuk mengosongkan daerah itu. Sudirman mengirim utusannya Sutoko untuk
memerintahkan/membujuk SM. Kartosuwiryo beserta TII-nya untuk segera
meninggalkan Jawa Barat, tapi SM. Kartosuwiryo yang merasa tidak terikat kepada
republik apalagi dengan renvile, menolak perintah itu. Dengan tegas beliau
menjawab “Apapun resiko yang terjadi kami akan tetap mempertahankan Jawa Barat,
dan melundungi rakyat yang mayoritas muslim, lebih baik mati berhalang tanah
sebagai shuhada daripada harus tunduk kepada penjajah dan menyerahkan ummat
islam Jawa Barat ke dalam cengkraman mereka”.
Begitu tinggi sifat ksatria
SM. Kartosuwiryo dalam usaha melindungi ummat, tidak seperti pemimpin-pemimpin
republik yang pengecut dan licik. Pemimpin republik hanya mementingkan
keselamatan dirinya, tanpa menghiraukan nasib rakyatnya yang akan segera
ditindas dan dijajah kembali oleh Belanda.
Setelah mengetahui usaha
Sudirman untuk membujuk SM. Kartosuwiryo dan TII-nya gagal, Belanda segera
mengerahkan pasukannya untuk menyerang posisi TII, pada tanggal 17 februari baru
saja 6 hari dibentuknya TII yang berada di daerah Gunung Cepu, meliputi 2
kecamatan yaitu Cikoneng dan Cihaur Beuti. Belanda masuk dari daerah timur
Cikoneng, yaitu dari kota Ciamis. tentara Islam yang sudah bisa di koordinir dan
membuat pertahanan di daerah itu, baru satu batalion yang dibawah pimpinan Nur
Lubis dengan perlengkapan 17 pucuk senjata api saja. Pak Oni yang kebetulan ada
disana, langsung memegang komandan taktis, maka berhadapanlah dua pasukan dan
dua kekuatan yang sangat berbeda ideologi dan tujuannya, yang pertama pasukan
islam yang berdiri tegak di atas landasan Aqidah, dalam rangka mempertahankan
dan menegakan Dienullah, dengan mengharap ridho Allah semata. mereka mengharap
kebahagiaan ukhrowi yaitu Jannah, dan juga mereka mencintai mati syahid, karena
tanpa mati dalam jihad tak mungkin bertemu Jannah.
Dengan ini mereka
mempunyai kekuatan jiwa yang besar dan mental yang kokoh sedikit pun
persenjataan mereka, dan besarnya persenjataan musuh, tidak mempengaruhi jiwa
mereka, bahkan iman mereka semakin mantap, dan semakin besar kepasrahannya
kepada Allah, mereka hanya menunggu satu diantara dua kebaikan, terbunuh menjadi
syuhada-langsung surga atau hidup mendapatkan kemenangan dan kemuliaan.
Sementara lawan adalah pasukan kafir yang berdiri diatas falsafah (ideologi)
yang rapuh. Motivasinya adalah hawa nafsu yang penuh dengan kesesatan dan
kepalsuan. Orientasinya adalah duniaw, karena itu mereka cinta dunia, dan pasti
takut mati. Kekuatannya tanpa didukung oleh kekuatan jiwa tidak banyak
berarti.
Pertempurannya pun tidak bisa dielakan lagi karena memang tidak
ada kompromi dan diplomasi lagi bagi tentara islam. Belanda memulai serangannya
dengan geger dan membabi buta dan menggunakan senjata-senjata berat lainnya,
tentara islam tidak menjadi kecut dan berkecil hati, dengan penuh kewaspadaan
dan ketenangan, mereka mengatur siasat menyadari persenjataan yang relative
sangat sedikit dan peluru yang sangat terbatas maka mereka berusaha
menggunakannya seefisien mungkin, mereka tidak akan menembak kalau tidak
benar-benar tepat sasarannya. Penguasaan medan sampai kedetail-detailnya sangat
menguntungkan mereka. Allah Maha Benar dan menepati janji-Nya untuk memberikan
pertolongan pada tentaranya yang ada dibumi (TII) dengan menunjukan jalan
(siasat) dalam menghadapi musuh-musuhnya. sesuai dengan firman Allah dalam surat
An Anfal ayat 9 dengan keberanian yang luar biasa satu pasukan TII berhasil
menguasai posisi yang strategis yang menjadi titik kelemahan pihak
musuh(Belanda), kemudian mereka meluncurkan tembakan-tembakan yang tepat pada
sasaran yang vital. tentara Belanda terkejut mereka panik mendapat serangan dari
arah yang mereka tidak diduga-duga, mereka seperti melihat kekuatan baru pada
tentara islam, yang jumlahnya seolah-olah lebih besar dari jumlah
mereka.
Menurut pengelihatan mata mereka inilah mungkin yang digambarka
Allah SWT dalam Q.S. 3/33, posisi Belanda menjadi porak poranda, mereka jatuh
mental, jiwanya dicekan perasaan takut mati, ngeri melihat kawan-kawannya yang
mulai berjatuhan, tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri. Pertempuranpun
berhenti selam berlangsungnya satu hari penuh, kemenangan mutlak berada di
tangan Tentara Islam, yang telah berhasil menewaskan puluhan tentara Belanda dan
merampas sebanyak 53 pucuk senjata dan kini jumlah tentara islam menjadi 70
pucuk. Alhamdulillah mereka memanjatkan syukur kehadirat Allah yang telah
berkenan memberikan tolong dan karunianya kepada mereka.
Imam SM.
Kartosuwiryo pada saat itu tidak berada di front (daerah Gunung Cepu), beliau
sedang sibuk melanjutkan musyawarah dengan tokoh-tokoh MI lainnya dalam menyusun
dan menyempurnakan struktur pemerintahan majelis islam yang dilanjutkan dengan
konfrensi Cijoho dan Ciperendeuy, beliau telah memberikan mandat penuh kepada
Pak Oni sebagai panglima pada saat itu, untuk mengatur taktik dan strategi dalam
menghadapi serangan Belanda dengan pertimbangan, mungkin Belanda akan
melaksanakan serangan besar-besaran untuk membalas kekalahannya. Maka Pak Oni
yang juga merangkap sebagai komandan resimen menyusun kekuatan yang masih ada di
luar front, Batalion Pak Danu dengan mambawa dua buah brand di tambah satu
granat dan Pasukan Zainal Abidin yang bermarkas di daerah Garut, daerah gunung
Cepu, yang meliputi kecamatan Cikoneng dan Cihaurbeuti merupakan daerah defacto
Majelis Islam. Kecamatan Cikoneng dengan penduduk berjumlah 53 ribu, dipimpin
oleh Ustadz Masduki yang bertindak sebagai camat dan Komandan Pertahanan
Kecamatan Cihaurbeuti dengan jumlah penduduk 43 ribu dipimpin oleh R. Basuki, 2
kecamatan ini kemudian dijadikan front pertahanan utama yang didukung oleh 4
batalion TII dengan persenjataan 3 buah brand dan sekitar 170 pucuk senjata
biasa, untuk beberapa bulan Belanda tidak masuk daerah ini, bahkan mereka
memasang papan pengumuman bahwa daerah ini adalah “daerah
berbahaya”.
Sekitar 1 Juni 1938 barulah Belanda bisa mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran untuk tindakan balas dendam setelah mengadakan
persiapan matang selama 3 bulan lebih, dengan mengerahkan pasukan tidak kurang
14 batalion yang diperkuat dengan tank baja serta didukung oleh angkatan udara.
Balanda bermaksud untuk mengepung dan menghancurkan daerah gunung Cepu sebagai
basis pertahanan TII. Jendral Spoor yang menjabat sebagai gubernur militer
sekaligus merangkap pucuk pimpinan tertinggi pemerintah kolonial di Indonesia
ini, memimpin langsung pasukan ini. Belanda sebagai kekuatan Nasional (kafir)
sangat membenci terhadap gerakan-gerakan islam, oleh karenanya mereka ingin
sekali menghancurkan secara tuntas dengan sesingkat mungkin. Mereka merencanakan
untuk masuk/mengepung daerah pertahanan Gunung Cepu dari segala arah kemudian
membombardirnya dengan meriam dan canon. ternyata usaha mereka itu tidak dapat
terlaksanan dengan secepatnya karena daerah pertahanan islam itu dibentengi oleh
sungai Citanduy yang cukup lebar dan dalam dari sebelah selatan, sedangkan dari
sebelah utara ada bukit-bukit yang sudah di jaga tentara islam. Memang sudah di
atur sedemikian rupa oleh Pak Oni ahli strategi. sehingga Belanda cukup sulit
untuk mendobrak daerah pertahanan itu.
Pasukan-pasukan Belanda yang
dipilih untuk berjaga dihutan dengan didukung oleh pasukan tank baja, mencoba
menerobos dengan melintas jembatan Citanduy (Cirahong) yang panjangnya 150m
Sedangkan diseberang sana tentara islam dengan 3 buah brand siap untuk menembak
musuh yang coba-coba untuk melintas jembatan. Setelah dikomando tentara Belanda
mulai masuk kejembatan tapi sampai ditengah mereka mulai diberondong dengan
brand. dan mayatpun bergelimpangan masuk ke sungai. Datang lagi pasukan lain
setelah dipaksa komandannya untuk maju dan mereka pun menjadi sasaran peluru
tentara islam dari seberang sana. Tentara Belanda terus meju dengan bergelombang
setelah tidak kurang dari 2000 tentara mereka yang tewas dan tentara islam pun
semakin menipis persediaan amunisinya dan akhirnya bobolah pertahanan TII dari
daerah selatan yang dipimpin oleh H. Zaenal Abidin, dan Belanda pun masuk,
tentara islam memundurkan daerah pertahanannya dengan meninggalkan 7 desa, yaitu
sindang tasik sebelah timur, Nasal, Panaragan, Cimahi, Darma Caang, Cegempalan
dan desa Cikoneng, yang kemudian diduduki oleh Belanda dari sinilah mereka
menggempur posisi TII dengan tembakan canon dan meriam dengan tidak
henti-hentinya angkatan udara dengan pesawat-pesawat tempurnya membantu serangan
ini dengan tembakan dari atas, posisi TII manjadi terkepung dari berbagai arah
dan semakin terjepit.
Kemudian Ustadz Masduki sebagai komandan pertahanan
daerah Cikoneng melihat kejadian ini berakhir saban (mengadakan introspeksi ke
dalam) kenapa pertahanan islam bisa didobrak musuh padahal tidak ada sunnahnya
dari rasul waktu perang khandaq tidak ada musuh yang bisa masuk kedaerah
pertahanan tentara rasulullah, kecuali untuk mati. Setelah diperiksa ternyata
ada syar’ie (Hududullah) yang dilakukan oleh beberapa anggota TII. Ada seorang
mata-mata yang cermat maka terbongkarlah kegiatan-kegiatannya selaku mata-mata
Belanda. Untuk mencari dan mendapatkan informasi/data penting tentang kekuatan
TII. Hukuman mati adalah yang paling tepat untuk pengkhianat saking marah dan
geramnya, Beberapa anggota TII anak buah A.Z. Abidin melakukan tindakan melampui
batas yaitu memotong-motong kemaluan orang yang telah ditembak itu. Inilah
kiranya yang menjadi penyebab datangnya malapetaka itu, sebagai peringatan dari
Allah, dengan bobolnya pertahanan batalion Zainal Abidin. Pimpinan TII
memerintahkan agar semuanya bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas
perbuatan isrof-nya(berlebihan) yang telah mereka lakukan.
Kemudian para
pimpinan mengadakan musyawarah untuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya
dalam menghadapi situasi yang genting itu. Pak Masduki sebagai salah seorang
komandan merangkap pimpinan daerah setelah mendapat mandat dari komandan rerimen
untuk mengatur siasat, mengajukan suatu gagasan yang sangat tepat sekali, beliau
berkata dihadapan komandan batalion “saat ini lihat benar-benar terjepit,
terkepung dari segala arah, dari utara mulai dari Ciamis-Kawali sampai Panjalu
rapat dengan tentara musuh, begitupula dengan sebelah barat Panambangan sudah
dikuasai musuh, sebelah selatan jalan raya sampai Banjar sudah penuh dengan tank
baja. Beruntung kita punya pertahanan alam yaitu Citanduy tetapi karena kekuatan
kita sangat terbatas kita tidak akan bisa mempertahankan daerah ini. Apalagi
brigade khusus musuh yang membawa peralatan berat sudah sampai di basis utara di
belakang kita. Untuk mengatasi situasi yang sangat genting ini saya telah diberi
mandat oleh komandan tempur untuk mencari jalan keluar, karena itu saya
memutuskan seluruh anggota TII supaya berusaha keluar dari daerah blokade ini,
kemudian membuat front yang lebih terbuka dengan sistem gerilya, kita bukan
front (lari meninggalkan perang) tetapi kita bersiasat melaksanakan surat An
Anfal ayat 16. Jadi keluar daerah ini sudah menjadi keputusan kita tinggal
bermunajat kepada Allah, kalu memang jalan ini dibenarkan Allah pasti Allah akan
memberikan cara dan jalan keluarnya, karena kalau kita melihat dhohirnya sulit
untuk bisa keluar, sebab harus menembus pagar senjata dan tank baja”. (Q.S.
29/69). Demikianlah Pak Masduki telah memutuskan diluar dugaan seorang TII yang
bertugas diTasikmalaya yang menjabat sebagai Stoot Resimen yang bernama
Syaifullah, dia mendapat tugas dari Bupati MI Tasikmalaya, H.A. Sobari untuk
minta bantuan pasukan satu regu saja guna menghadapi keganasan CV-CV Belanda
(orang-orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda). yang selaulmemeras dan
menindas rakyat. Inilah rupanya jalan yang diberikan Allah memecahkan kesulitan.
Akhirnya diputuskan bukan hanya satu regu yang akan dikirimkan, tapi semua
pasukan yang terdiri dari tiga batalion akan dikeluarkan dari daerah ini, dan
ditempatkan dan ditempatkan didaerah Raja Polah, Tasikmalaya. Siasat pun diatur
untuk mengeluarkan pasukan dan para keluarganya serta orang-orang luka
tembakan.
Kemudian ditawarkan kepada komandan-komandan, siapa yang
bersedia untuk menyamar dan menipu musuh, resikonya kalau ketahuan akan ditembak
musuh. Syaifullah yang tampil menyanggupkan diri, lalu ia ganti pakaian untuk
menyamar sebagai rakyat biasa. tugasnya ialah datang kemarkas Belanda. minta
izin untuk membawa rakyat keluar yang terkena luka tembakan canon dan meriam dan
melaporkan bahwa tentara islam (Sabilillah) telah lari meninggalkan tempat.
Siasat itu rupanya berhasil Syaifullah diizinkan keluar dengan membawa
orang-orang yang sakit rombongan ini selamat sampai ketempat tujuan. Bersamaan
dengan itu pasukan TII pun bergerak keluar melalui Cijoho dan Cihaur. tepat jam
12 malam tentara belanda yang ada di pos sebelah barat, utara dan melihat
iring-iringan tentara islam, mereka terkejut dan panik kemudian lari
meninggalkan posnya tanpa mengadakan perlawanan, dengan demikian tentara islam
dapat melintasi pos-pos tentara Belanda yang telah aman dan leluasa dan mereka
baru sampai ditempat tujuan yaitu daerah Tajamaya, Raja Polah, Tasikmalaya pada
jam 3 dini hari, peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 juni, siang harinya
Belanda mulai mengadakan serangan-serangan dengan gencar sekali, menggunakan
senapan otomatis biasa sampai persenjataan artileri berat. Dari atas dan dari
bawa, semuanya memuntahkan peluru dengan satu sasaran, yaitu markas-markas TII,
yang merasa belum tahu bahwa tempat itu sudah dikosongkan, jejak-jejak TII waktu
menerobos keluar sempat dihapus oleh rakyat setempat pada malam hari itu juga.
Sehingga sama sekali tidak melihat jejak bahwa TII sudah keluar. Serangan pun
dihentikan setelah melihat tidak ada reaksi dari lawan, dan ternyata tempat itu
sudah kosong. Sementara TII yang sudah sampai di tempat tujuan kemudian cepat
menyebar. melihat tempat-tempat strategis dan melancarkan serangan gerilya
dengan mendadak Belanda yang mendapat serangan mendadak dari belakang itu
menjadi jatuh mentalnya, mereka kalang kabut dan lari meninggalkan meda. Sama
sekali Belanda menderita kekalahan besar, dengan tewasnya ribuan tentara mereka
secara sia-sia. Mereka melihat suatu kekuatan besar yang tidak dilihat
sebelumnya, jendral Spoor sebagai gubernur militer yang memimpin langsung
pasukan raksasa tersebut, tidak tahan menaggung malu dan aib atas kesalahannya
ini, dan langsung mengambil keputusan jalan pintas”bunuh diri”.
Peristiwa
Gunung Cepu ini sangat penting artinya bagi perjuangan tentara islam, peristiwa
yang penuh dengan karomah, dan merupakan awal kemenangan tentara islam. Maka
untuk menghargai peristiwa-peristiwa ini, Imam memberikan gelar (GT) (Gunung
Tjupu) bagi pasukan yang terlibat dalam perang ini, sesuai dengan sunnah, dimana
Rasulullah pun memberikan gelar “Ahlil Badri” sebagai penghargaan terhadap
pasukan-pasukan yang ikut ambil bagian dalam perang badar.
Tentara Islam
kini dapat menyusun strategi dan siasat yang jauh lebih mantap lagi. Mereka
menguasai daerah lebih banyak lagi dan ummat pun semakin besar simpati dan
dukungannya terhadap perjuangan TII. Sekarang mereka tidak menggunakan lagi
sistem konsentrasi dan frontal, tapi menggunakan sistem gerilya malam hari,
sasaran vital Belanda dihancurkan, tanpa diberi kesempatan untuk memberikan
perlawananan yang cukup berarti, Akhirnya Belanda dipaksa untuk meninggalkan
daerah-daerah Jawa Barat. Mereka hanya menguasai kota-kota besar saja seperti
bandung, dan Jakarta. dengan pertahanan yang cukup tangguh.
melihat
kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh TII dalam melawan tentara Belanda
Jenderal Sudirman yang dulu memerintahkan SM. Kartosuwiryo dan TII-nya
meninggalkan Jawa Barat sekarang dia menaruh simpati dan mendukung
langkah-langkah yang diambil oleh TII dalam usaha mempertahankan Jawa Barat,
Bahkan secara diam-diam dia mengirimkan persenjataan dari Yogya. Tindakan
Sudirman ini sempat tercium oleh Belanda yang kemudian hal ini di jadikan alasan
oleh Belanda untuk menyerag Yogya dengan militernya yang kedua pada 19 desember
1948.
4. Awal Perang Segitiga
Setelah Belanda terpaksa
mengundurkan diri dari daerah-daerah di Jawa Barat, TII dengan cepat mengadakan
perluasan daerah kekuasaannya daerah Periangan Timur sebagian besar dikuasai TII
dengan pembagian kekuasaan sebagai berikut :
- Bataliyon III menguasai
daerah Ciamis Selatan dan Utara.
- Bataliyon II masuk dan menguasai
Garut, sementara
- Bataliyon IV menguasai daerah Tasikmalaya.
Tiga
daerah kabupaten inilah yang dijadikan basis utama MI dan TII, dan akhirnya
menjadi basis Negara Islam Indonesia, setelah agustus nanti.
Untuk
menetapkna administrasi pemerintah, maka di Jawa Barat dibentuk struktur
daerah-daera yang telah dikuasai oleh MI.
- Daerah satu (D.I) : Yaitu
daerah-daerah yang telah dikuasai oleh MI dan TIIde facto maupun de yure
pmerintahannya, rakyatnya, maupun hukumnya adalah Islam, meliputu Ciamis
selatan, barat dan utara, Garut timur dan Ciamis Utara sebelah timur dan
sekitarnya.
- Daerah dua (D.II) : Daerah yang hanya de yure milik MI,
rakyatnya kebanyakan mendukung MI, sedang secara de facto dikuasai oleh belanda,
disini adan dua pemerintahan, Belanda dan MI secara bayangan. Ini seperti
kota-kota kabupaten dan sekitarnya seperti : Cirebon, kuningan, indaramayu, dan
sekitarnya.
- Daerah tiga (D.III) : Daerah yang dikuasai oleh musuh
(belanda), hanya ada pengaruh-pengaruh kota dimasyarakat sana, yaitu ibukota
propinsi bandung, Jakarta dan daerah perbatasan Jawa Barat, Jawa tengah, Cilacap
dan Brebes.
Demikianlah posisi Majelis Islam dan TII yang semakin mantap
menguasai sebagian besar daerah Jawa Barat.
Melalui Perjalanan yang cukup
jauh. Apa yang disebut dengan “Long March”, Pasukan-pasukan Siliwangi akhirnya
sampai keperbatasan Jawa Barat, Jelas sekali terlihat bahwa perjalana Long March
Sliwangi ini, bukan perajalanan “Para Pahlawan Bangsa”, karena memang tidak ada
nilai kepahlawanannya sama sekali. Lebih tepat bila dikatakan “Perjalanan Para
Pengecut”, yang telah mengkhianati dan mengorbankan rakyatnya pada pihak musuh
dan mereka sendiri masuk kedalam perangkap yang telah ia buat oleh musuh,
kemudian diserang habis-habisan tanpa dapata mengadakan perlawanan, apalagi para
pemimpinnya sudah menyerah.Dalam keadaan kalah perang inilah Siliwangi, berjalan
jauh, kembali kepada rakyat yang telah dikhianatinya di Jawa Barat. Sementara
disana telah tegak dengan kokohnya “Para Pahlawaan Sejati” yang telah berhasil
melindungi rakyatnya dari cengkraman penjajahan dan sekaligus mengusir penjajah
itu dari Jawa Barat. Mereka adalah Majelis Islam dan Tentara Islam Indonesia.
Mereka telah merentangkan sistem pemerintahan Islam yang adil dan bijaksana,
sehingga rakyat merasa tentram dan damai.
Kedatangan pasukan Siliwangi di
Jawa Barat dismbut dengan penuh rasa perasaudaraan oleh MI dan TII, mengingat
bahwa, Siliwangi itu banyak yang berasal dari unsur Hizbullah dan Sabilillah,
maka besar harapan MI, agar Siliwangi bisa meleburkan diri kedalam TII. Untuk
itu pimpinan MI dan TII menyampaikan bebarapa Alternatif kepada pihak Siliwangi
untuk menentukan sikap, diantaranya :
1. Silahkan masuk ke
daerha-daerah de facto MI dan bersama-sama melawan belanda dengan status TII
yang mencerminkan perlawanan rakyat (Ummat Islam), sementar pemerintah RI sudah
menyerah kepada Belanda, dan tidak punya harga sama sekali di forum
Internasional.
2. Kalau keberatan, silahkan masuk ke daerah-daerah yang
belum de facto majelis Islam, dan bersama-sama melawan Belanda tanpa ada
permusuhan dengan TII.
1. Atau letakkan senjata, kemudian menjadi
rakyat biasa dibawah perlindungan TII.
Menghadapi alternatif ini pasukan
Siliwangi terpecah menjadi 3 bagian, sesuai dengan latar belakang ideologi
masing-masing, yang berasal dari Hizbullah dan masih mempunyai ruhul Islam,
mereka memilih point pertama, bergabung dengan TII, seperti kadir Salihat
beserta pasukannya. Ada juga yang memilih point ke dua, (tidak mau bergabung
kepada TII), dan ini yang terbanyak, mereka yang berideologi nasionalis sekuler
(PNI, Pesindo) diantaranya pasukan-pasukan dibawah pimpinan M. Rifai, Aag
Kunaefi, Nasukhi, Amir Mahmud, Sueb dan Umar Wirahadi Kusuma, yang lainnya point
ketiga, yaitu meletakkan senjata dan menjadi rakyat biasa.
Demikianlah
tampak sekali kebesaran jiwa pimpinan Majelis Islam ini, bijaksana dan
toleransi, tidak ada sama sekali niat untuk memusuhi atau menganggap musuh
terhadap pasukan Siliwangi, bahkan menganggapnya sebagai kawan seperjuangan
dalam menghadapi penjajah. Namun ternyata pasukan Siliwangi dan Nasionalis
Sekuler (kafir) ini tidak menghargai atas kebaikan pimpinan TII, mereka masuk ke
daerah de facto majelis Islam, kemudian memeras dan merampas hak-hak rakyat
dengan penuh kesombongan dan kecongkakan dan mereka pun mulai berani menampakkan
sikap-sikap permusuhan terhadap TII. Puncak permusuhan dan pengkhianatan mereka
itu terjadi pada hari selasa, 25 januari 1949 di desa Antralina kec. Ciawi,
daerah tasikmalaya Utara-barat, mereka menyerang dari belakang terhadap markas
TII, sehingga puluhan Anggota TII gugur akibat pengkhianatan mereka. Pasukan TII
pun akhirnya mengadakan perlawanan terhadap mereka, untuk membalas pengkhianatan
mereka. Terjadilah pertempuran yang cukup sengit antara kedua belah pihak pada
hari itu juga.
Setelah melihat adanya pengkhianatan besar dari pasukan
Siliwangi yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, maka MS. Kartosuwiryo selaku
imam dan selaku Panglima Tertinggi TII Mengeluarkan maklumatnya, dengan kode
“Maklumat Militer No. 1” tertanggal 25 januari 1949 yang isinya antara lain :
Setelah mengingat dan menimbang beberapa hal, kemudian memutuskan bahwa divisi
Siliwangi (TNI) yang kemudian disebut sebgaia tentara Liar (TL), dianggap
sebagai penghalang revolusi Islam Indonesia, yang harus dihadapi dengan tindakan
Militer. Untuk itu diperintahkan kepada seluruh angkatan perang Negara Islam
Indonesia untuk melakukan tindakan :
1. Melucuti tentara liar
itu,
2. Merampas harta benda hak kesatua (dari gerombolan golongan itu),
yang perlu untuk kepentingan Negara Islam Indonesia.
Tentara Islam pun
dikerahkan untuk melaksanakan ma’lumat tersebut, melucuti dan merampas
persenjataan beserta seluruh perlengkapan pasukan Siliwangi. Ternyata pasukan
Siliwangi yang dalam keadaaan grogi tak berdaya menghadapi tindakan militer TII,
hanya dalam beberapa minggu saja kekuatan Siliwangi sudah bisa ditundukkan.
Sebagian ditangkap dan ditawan, dan yang lain ada yang berlindung dan bergabung
kepada pemerintahan Negara Boneka bikinan Belanda, yaitu Negara
Pasundan.
Peristiwa 25 januari yang kemudian dik kenal dengan “pristiwa
antralina”itu di nyatakan sebagai awal perang segi tiga,TII melawan Belanda
(negara pasundan),TII melawan siliangi (TNI),sementara TNI masih bermusuhan
dengan Blanda.Belanda setelah mengalami kekalahan dan melihat kekuatan
islam,berniat untuk mengundurkan diri dari kancah pertempuran,supaya tidak
terlibat panjang berhadapan dengan tentara islam,tapi cukup dengan menggunakan
point-pointnya (negara-negara bonekanya),termasuk RI yang sudah menyerah pun
sedang dipersiapkan untuk menjadi point mereka guna menghadapi kekuata
islam,dengan melalui perundingan Room-Royen.
5. Saat –saat menjelang
proklamasi Negara Islam Indonesia
Semenjak pertama kali merjunkan diri
kedalam kancah perjuangan politik mulai dari PSII nya sampai pada masa
perjanjian Jepang dan Belanda yang kedua kalinya SM. Kartosuwiryo telah
mendasari perjuangan dengan islam, untuk menuju satu arah perjuangan yaitu
lahirnya Negara Islam Indonesia yang merdeka, yang dapat menjamin seluruh ummat
islam dalam melaksanakan pengabdiannya kepada Allah Rabbul Izzati dengan murni
anpa di campuri dengan kemusrikan. Tidak pernah terlintas dalam hatinya untuk
terlibat dalam perjuangan Nasional, yang bertujuan mendirikan sebuah negara yang
berdasarkan nasionalisme dan dengan penuh kesabaran beliau selalu memperingari
dan mengajak mereka untuk memutar haluan menyesuaikan langkah perjuangan dengan
Rasulullah S.A.W, ini bisa dibuktikan dengan melihat tindakan-tindakan beliau,
baik sebelum maupun sesudah proklamasi RI.
Sesungguhnya begitu beliau
mendengar pengumuman menyerahnya Jepang kepada sekutu, pada 14 agustus 1945, dan
tidak adanya persiapan dari tokoh-tokoh nasionalis muslim untuk memproklamirkan
kemerdekaan, maka pada tanggal itu pula beliau memproklamirkan kemerdekaan, maka
pada tanggal itu juga beliau memproklamirkan Negara Islam Indonesia. ternyata
ummat islam belum siap menerima konsep Negara Islam Indonesia ini, perhatian
mereka berpusat pada tokoh-tokoh nasionalis yang bergabung dalam BPUPKI. Setelah
3 hari kemudian, tepatnya pada tangal 17 agustus 1945, Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan RI, maka SM. Kartosuwiryo menarik kembali
proklamasinya, untuk menghargai revolusi rakyat yang sebagian besar umat islam,
yang dikorbankan oleh tokoh-tokoh islam pula. Namun beliau menjadi kecewa
setelah mengetahui bahwa negara yang baru dilahirkan itu adalah Negara Sekuler
Murni, tanpa ada warna islamnya sama sekali, apalagi setelah melihat struktur
pemerintahannya di dominisir oleh orang-orang sekuler pula.
Beliau
kemudian berusaha untuk menjajaki tokoh-tokoh islam yang telah gagal itu untuk
menghimpun potensi ummat islam guna menentukan langkar-langkah perjuangan islam
selanjutnya. Ajakan beliau pun disambut baik terutama oleh tokoh-tokoh muda
seperti Moh. Natsir, Moh. Room, A. Wahab Hasyim dan yang lainnya, akhirnya
terbentuklah Masyumi baru, namun tokoh-tokoh ini menerima tawaran Soekarno untuk
duduk dalam kabinet, dan mengikatkan loyalitas Masyumi kepada Republik Sekuler.
SM. Kartosuwiryo segera menarik diri Masyumi dan kembali ke Malangbong untuk
mengelola “Sabilillah dan Hizbullah” sebagi kekuatan inti untuk mengawal
perjuangan islam, namun beliau tidak memutuskan tali ukhuwah dengan tokoh-tkoh
Masyumi yang telah bergabung dalam pemerintah RI itu. Selalu saja beliau
memperhatikan gerak langkah mereka yang membawa jutaan ummat dengan memberikan
teguran dan peringatan bila terlihat ada penyimpangan yang terlalu jauh dengan
menjual ummat kepada pihak penjajah, seperti terjadi pada saat
diselenggarakannnya perjanjian linggar jati maret 1947, yang membuahkan Agresi
Militer Belanda pertama, yang mengakibatkan penderitaan besar bagi ummat, beliau
mengirimkan statmen (peringatan-peringatan), tapi tidak diizinkan oleh pimpinan
republik.
Demikian pula ketika pihak republik mengadakan naskah renvile
yang mengakibatkan harus menyerahan sebagian besar wilayah dan rakyat indonesia
ke tangan penjajah. Beliau memberi peringatan keras dan mengancamnya, tapi juga
tidak ada peringatan dari mereka. mereka sampai hati meninggalkan rakyatnya
disebagian banyak wilayah, untuk segera diserahkan kepada Belanda dan mereka
sekarang hanya menguasai tujuh keresidenan saja, sesuai dengan garis demarkasi
Van Mook, yaitu : Yogya, Solo, Magelang, Kediri, Madiun, Bojonegoro dan Malang.
Republik benar dalam keadaan kritis, baik politik mapun militer, dan ekonomi
sudah benar-benar diambang kehancuran. Saat itulah SM. Kartosuwiryo
mempersiapkan diri dengan menggalang kekuatan sabilillah dan hizbullah di Jawa
Barat, untuk mengalihkan gerakan-gerakan ummat kepada revolusi yang bercorakkan
islam. Setelah Belanda melancarkan serangan ke Yogya sebagai ibukota Republik,
dengan agresi militer II, 19 Desember 1948, yang mengakibatkan jatuhnya republik
ke tangan Belanda. Maka SM. Kartosuwiryo mengeluarkan maklumat no. 5, tertanggal
20 Desember 1948. Isinya adalah komando umum kepada seluruh lapisan ummat islam
bangsa Indonesia untuk melakuka perang suci mutlak Jihad Fisabilillah, mengusir
penjajah Belanda dan menegakkan Daulah Islamiyah.
Karena melihat keadaan
vakum, tidak ada pemerintahan yang sah bertanggungjawab, maka pada tanggal 21
desember 1948, SM. Kartosuwiryo bermaksud segera memproklamirkan Negara Islam
Indonesia. Namun maksud ini ditarik lagi setelah keesokan harinya 22 Desember
1948, Mr. Syafrudin Prawiranegara memproklamasikan PDRI (Pemerintahan Daryrat
Republik Indonesia), di Bukit Tinggi, Sumatra Barat dengan suatu pertimbangan
bahwa Mr. Syafrudin adalah seorang muslim yang baik dan tokoh Masyumi yang
mempunyai cita-cita mendirikan Negara Islam, SM. Kartosuwiryo berharap agar Mr.
Syafrudin merubah PDRI menjadi Sebuah Negara Islam, dan TII pun adalah
mendukungnya. Namun harapan itu menjadi kandas sama sekali manakala Moh. Room,
salah satu tokoh Masyumi dan tokoh PDRI meskipun pada saat itu tidak membawa
dari PDRI, tapi mandat dari Soekarno telah mengadakan perundingan dengan pihak
Belanda, yang dikenal dengan Room dan Royen, di tandatangani tanggal 7 mei
1949.
SM. Kartosuwiryo mengecam keras terhadap perjanjian itu melalui
statmennya yang sempat diedarkan ke berbagai pihak, diantaranya beliau
mengatakan , “Dengan adanya statmen Room Royen ini maka Moh. Room telah
menyelesaikan tugasnya”. sebagai wakil Masyumi, wakil ummat Islam... sungguh
sangat memalukan sekali...! kalau dulu zaman naskah Linggar Jati Masyumi
mati-matian ‘anti Linggar Jati’ sekarang wakil Masyumi dalam kabinet dan wakil
ummat Islam sendiri yang mendapat giliran terakhir menjual Negara sampai habis
total, Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka benar-benar sudah bangkrut
sementara PDRI tidak mempunyai peranan apa-apa, sebab kemudia Mr. Syafrudin
menyerahkan kembali mandatnya kembali kepada Soekarno.
6. Proklamasi
Negara Islam Indonesia
Apapun alasannya perjanjian Room Royen adalah
tindakan dari pimpinan RI mereka sampai hati menjual kemerdekaan yang telah
diperjuangkan dan dipertahankan dengan darah dan keringat rakyat, hanya sebagai
imbalan pembebasan Soekarno cs dari penjara dan siap untuk masuk kedalam “Kebun
Binatang Modern”, yaitu sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Negara
Boneka Koloni. Formilnya akan segera diselesaikan pada Konfrensi Meja Bundar
(KMB) di Den Hag bulan september mendatang.
untuk menghadiri KMB, RI
mengirim sebuah delegasi yang diimpin oleh Moh. Hatta dan mereka berangkat ke
negeri Belanda, Pada tanggal 6 Agustus 1949, SM. Kartosuwiryo memandang, dengan
keberangkatan delegasi Hatta ini, sebagai titik kulminasi kehancuran RI yang
diproklamirkan 17 agustus 1945, dan tumbangnya martabat PDRI. Maka saat ini,
benar-benar sangat vacum, baik dipandang dari segi politik militer, baik de
facto maupun de yure. Gambaran situasi ini lebih jelas diungkapkan dalam
maklumat no. 1197 yang disusun oleh SM. Kartosuwiryo
;
Bismillahirrohmanirrohim
Ma’lumat Pemerintah
Negara Islam
Indonesia
Nomor 1197
Syahdan, maka peruangan kemerdekaan Nasional,
yang diawali proklamasi berdirinya Republik Indonesia, 17 agustus 1945, sudahlah
mengakhiri riwayatnya. Orang lebih memberi tafsir yang muluk-muluk, yang
membumbung tinggi, menembus angkasa, orang boleh cari lagi alasan-alasan yang
lebih licin, lebih yuridis, lebih statrech, lebih volkan recbtelijk, tetapi
meski diputar balik ketetapan, orang yang kuasa membalik hitam menjadi putih,
batil menjadi haq, haram menjadi halal,.... Sepandai-pandainya manusia bersifat,
tidaklah kuasa membalik timur jadi barat, setinggi-tingginya bangau terbang,
kembali kepada pokok pangkal pertama, di tangan musuh, ditangan penjajah
Belanda.
Alhamdulillah pada saat kosong (vacum), saat dimana tiada
kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggungjawab (GEJAGE EN REGERINGS VACUM)
maka pada saat yang kritis (membahayakan) dan psychologisch yang lemah itulah
ummat Islam Bangsa Indonesia memberanikan dirinya, menyatakan sikap dan
pendirian, yang jelas tegas kepada seluruh dunia : Proklamasi Berdirinya Negara
Islam Indonesia, 7-8-1949. pada saat itu otomatis (dengan berdirinya),
perjuangan indonesia beralih arah, bentuk, sifat, corak dan tujuannya,
menjadilah : perjuangan Islam Indonesia. Atas Nama Ummat Islam Bangsa Indonesia,
kemudian dengan didorong oleh perintah Allah dalam surat Al Isro ayat 81, yang
di awali dengan lafadz (Wa qu) yang artinya : ‘Proklamasikanlah’ maka tanggal
7-8-1949 yang bertepatan 12 Syawal 1368H. SM. Kartosuwiryo mem[roklamirkan
berdirinya “Negara Islam Indonesia” yang telah dipersiapkan secara matang dan
cermat. Proklamasi dilakukan di Cisampang, desa Cidugalem, Cigalontong,
Tasikmalaya. Teks lengkapnya sebagai berikut,
sbb:
PROKLAMASI
Berdirinya Negara Islam Indonesia
Dengan
Nama Allah yang Maha Murah dan Maha Asih
Kami ummat Islam Bangsa
Indonesia
Menyatakan : Berdirinya “ NEGARA ISLAM INDONESIA “
Maka
Hukum Yang Berlaku Atas Negara Islam Indonesia itu Ialah
HUKUM
ISLAM
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Atas nama Ummat
Islam
Bangsa Indonesia
Imam Negara Islam
Indonesia
Ttd.
(SM. KARTOSUWIRYO)
Madinah Indonesia, 12
Syawal 1368 / 7 Agustus 1949 M
Penjelasan Singkat :
1.
Alhamdulillah, maka Allah telah berkenan menganugrahkan karunianya yang Maha
Besar atas ummat Islam Bangsa Indonesia ialah Negara Karunia Allah yang meliputi
seluruh Indonesia.
2. Negara Karunia Allah itu , adalah “Negara Islam
Indonesia” / “Darul Islam” dengan kata lain “Ad-Daulatul Islamiyah”, atau dengan
singkatan yang sering dipakai orang “DI”, selanjutnya hanya dipakai satu istilah
resmi, yaitu Negara Islam Indonesia.
3. Sejak bulan September 1945, pada
waktu turunnya Belanda ke Indonesia. Khususnya di pulau Jawa, atau sebulan
kemudian daripada proklamasi berdiri “Negara RI”, maka revolusi Nasional yang
mulai menyala pada tanggal 17-8-1945 itu merupakan perang, sehingga sejak masa
itu seluruh Indonesia di dalam keadaan perang.
4. Negara Islam Indonesia
tumbuh dimasa perang di tengah-tengah revolusi nasional pada akhir kemudiannya
setelah naskah renvile dan ummat Islam bangun dan bangkit melawan keganasan
penjajah dan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda beralih sifat dan wujudnya
menjadilah Revolusi Islam / Perang Suci.
5. Insya Allah, Perang Suci /
Revolusi Islam akan berjalan terus hingga :
1. Negara Islam
Indonesia berdiri dengan sentosa dan tegak teguhnya, keluar dan kedalam 100% de
facto dan de yure di seluruh Indonesia.
2. Lenyapnya segala macam
penjajahan dan perbudakan.
3. Terusirnya segala musuh Allah, musuh
Islam dan musuh Negara Islam Indonesia.
4. Hukum-hukum Islam berlaku
diseluruh Negara Islam Indonesia.
6. Selama itu Negara Islam Indonesia di
masa perang / DI fi waktil harbi
7. Maka segala hukum yang berlaku dalam
masa itu, di dalam lingkunga Negara Islam Indonesia ialah hukum Islam di masa
perang.
8. Proklamasi ini disiarkan ke seluruh dunia, karena ummat Islam
Bangsa Indonesia berpendapat dan berkeyakinan bahwa, kini adalah tiba saatnya
melakukan “wajib suci” yang serupa itu bagi menjaga keselamatan Negara Islam
Indonesia dan segenap Rakyatnya, serta bagi memelihara kesucian Dien, terutama
berlaku bagi “mendhohirkan kedaulatan Allah di dunia.
9. Pada dewasa ini,
perjuangan kemerdekaan Nasional yang diusahakan selam hampir genap 4 tahun
kandaslah sudah.
10. Semoga Allah membenarkan proklamasi berdirinya Negara
Islam Indonesia ini jua adanya Insya Allah,
Amin.
Bismilahi....................................................................................................Allahu
Akbar
Catatan :
1. Karena dilakukan pada saat vacum, maka
Proklamasi Negara Islam Indonesi Adalah sah menurut hukum manapun juga, bukan
mendirikan negara diatas negara (didalam negara) sebab RI telah masuk ke dalam
RIS, mengakibatkan statusnya sama dengan negara boneka lainnya, Semacam Negara
Pasundan, Negara Sumatra, negara Kalimantan dan lain-lain yang fungsinya ikut
memras dan menjajah bangsa dan rakyat sendiri.
2. Berbeda dengan
proklamasi RI tahun 1945, yang dilakukan atas diplomasi dan prakarsa Jepang,
serta dilakukan sangat terburu-buru. Maka proklamasi Negara Islam Indonesia di
tegakkan atas tetesan dara Shuhada dan ribua mayat mujahid, serta melaui
persiapan yang matang dan tidak tergesa-gesa.
3. Negara Islam Indonesia
adalah penjabaran dari pemerintahan dan kerajaan (Mulkiyah) Allah di bumi
Indonesia, dengan memberlakukan hukum Allah, hukum-hukum Islam. Maka semenjak
diproklamirkan Negara Islam Indonesia, menjadi wajib hukumnya bagi seluruh ummat
Islam Indonesia untuk menrima, mendukung, dan memperthankannya. sampai
Hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tidak ada hujjah sama sekali dihadapan
Allah nanti, bagi ummat Islam Indonesia untuk menolak Negara Islam
Indonesia.
4. Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya “Jama’ah” di
Indonesia yang dibenarkan oleh Islam berdiri tegak di atas sabilillah dan
Shirotol Mustaqim, maka seluruh kelompok (firqoh-firqoh) ummat Islam di
Indonesia. harus meleburkan diri ke dalam struktural Negara Islam Indonesia,
karena yang benar (Haq) itu hanya satu saja di luar yang benar adalah salah.
Surat Yunus ayat 32.
BAB V. PERJUANGAN NEGARA ISLAM INDONESIA DALAM MASA
PEMERINTAHAN RIS.
1. Konfrensi Meja Bundar (KMB) dan Hakikat
RIS
Setelsh mendapat pengalaman “perang gunung Cepu” melawan TII, Belanda
berkesimpulan bahwa TII merupakan suatu kekuatan yang cukup besar, yang bisa
mengecam dominasinya di Indonesia. Dan mereka pun menjadi kecut hatinya, bila
harus menghadapi TII secara langsung. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri,
adanya kekuatan yang luar biasa pada diri Tentara Islam, yang kadang-kadang
diluar perkiraan ratio. Oleh karena itulah mereka membuat siasat lagi, siasat
yang licik sekali, yaitu menjadikan tokoh-tokoh RI yang non Muslim, yang sudah
menyerah, baik sipil maupun yang militernya sebgai boneka yang bisa diperalat
untuk menghadapi kekuatan Tentara Islam Indonesia.
kemudian ditawarkan
“perundingan” kepada pimpinan republik yang telah menyerah dan berada dalam
tahanan, mereka pun menerimanya dengan gembira. Soekarno memberikan mandat
kepada Mr. Moh. Room untuk menrima tawaran perundingan, yang isinya selalu
didiktekan oleh pihak Belanda. Maka lahirlah apa yang biasa disebut “Statmen
Room-Royen”, yang isinya antara lain :
1. Crease Fire atau penghentian
tembak-menembak.
2. Round Table Conference / KMB dan
3. Kerjasama /
Samed Working antara pihak Republik dengan Belanda.
Natijah dari statmen
ini adalah pimpinan RI siap untuk manjadi pemerintah boneka “Belanda” dalam
melaksanakan politik ekonomi sosial dan undang-undang kolonial, yang memras dan
menindas rakyatnya. Terutama ummat Islam Bangsa Indonesia. Statme ini kemudian
dimatangkan dalam KMB yang berlangsung 23-08-1949 s/d 02-11-1949 di Den Hag,
dengan membentuk sebuah Negara Federasi, merupakan gabungan dari negara-negara
boneka yang ada di Indonesia Serikat (RIS) dalam konfrensi ini pula Belanda
menyerahkan kedaulatan RIS pada tanggal 27-12-1949, dan di Jakarta terjadi hal
yang sama dari RI kepada RIS, sementara RIS itu merupakan persekongkolan (kerja
sama) antara kaum munafiq (tokoh-tokoh sekuler) dan kaum kafirin (pemerintahan
Belanda) dalam menghadapi kekuatan ummat Islam Bangsa Indonesia yang telah
bernaung di dalam Negara Islam Indonesia. Ialah yang dimaksud oleh Allah
(firman-Nya) Q.S. Al-Anfal ayat 73 : “ Adapun Orang-orang yang Kafir, sebagian
mereka menjadi pelindung sebagian yang lain (bekerja sama dalam menghadapi
orang-orang yang beriman), jika kamu (kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah itu (persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin) niscaya
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”.
sangat
disesalkan sekali, tokoh-tokoh Masyumi dan partai Islam lainnya, yang mengaku
mempejuangkan Islam, tidak waspada dengan permainan kotor dan licik ini,
sehingga mereka terjerumus kedalam perangkap persekongkolan, antara munafiqin
dan kafirin. Mereka menerima dan mendukung RIS serta menolak Negara Islam
Indonesia, perihal sebgai muslim mestinya wajib, menerima dan mendukung negara
Islam Indonesia, yang jelas-jelas sah dan Islam, serta menolak RIS yang
nyata-nyata sekuler (kafir) dan tidak sah kelahirannya di bumi Indonesia ini,
terutama tindakan mereka itu semata-mata berdasarkan hitungan Ro’yo (Ratio) yang
telah ditunggangi hawa nafsu, tidak berdsarkan wahyu sama sekali, karena mungkin
orientasi kehidupannya bukan lagi ukhrowi, tetapi duniawi (materialistis).
berkat dukungan mereka itulah, RIS sebagai lembaga sekuler yang rapuh menjadi
kuat dan kokoh kedudukannya, terutama setelah M.Natsir sebagi pimpinan Masyumi
mengajukan misi integralnya kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950
disetujui untuk merubah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
Republik Indonesia Kesatuan (RIK) dengan tetap Soekarno sebagai presiden
didampingi Moh. Hatta sebagai wakilnya.
2. Taktik RIK Menghadapi Negara
Islam Indonesia.
Sebagai realisasi KMB Belanda mulai menarik diri secara
perlahan-lahan dari Indonesia setelah dilihat Negara Bonekanya, yaitu RIS cukup
kokoh dan kuat pijakannya, baik politik maupun militer, sehingga sudah dipandang
mampu untuk merealisasikan program utamanya, yaitu “ De Islamisasi “ atau
pendangkalan nilai-nilai Islam di kalangan Ummat Islam Bangsa Indonesia,
terutama dalam menghadapi Negara Islam Indonesia dan TII-nya. Posisi-posisi
strategis, perlengkapan dan markas-markas militer, serta wilayah-wilayah kota
yang tadinya dikuasai Belanda, kini telah diserahkan kepada Republik beserta
TNI-nya. Pihak Negara Islam Indonesia tetap saja hanya menguasai wilayah-wilayah
pedesaan dan pegunungan sebab proses penyerahan kedaulatan kepada RIS, berjalan
dengan ketat, sehingga pihak Negara Islam Indonesia tidak berhasil
merebut.
Sukarno memandang masalah Negara Islam Indonesia sebagai masalah
yang besar yang harus dihadapi dengan serius dan dia berpendapat bahwa kekuatan
Negara Islam Indonesia itu disebabkan dukungan ummat Islam. Untuk menghadapi hal
ini, Soekarno mencoba merangkul tokoh-tokoh ummat Islam, dalam hal ini Masyumi
yang memang telah banyak berjasa dalam menyelamatkan dan mempertahankan Negara
sekuler ini, untuk turut serta berperang aktif dalam mengelola Negara kesatuan
yang baru dibentuk, sebagai kelanjutan dari RIS, tentu saja hal ini tidak
berarti Soekarno telah berubah haluan dari sekuler kepada Islam, “tidak”. Tetapi
semata-mata sebagai taktik saja untuk memperalat tokoh-tokoh Masyumi dalam
rangka merekrut ummat Islam yang selama ini mendukung Negara Islam Indonesia
terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat. Maka ditampilkanlah Moh.
Natsir sebagai perdana mentri yang pertama dari RIK, yang dibantu oleh beberapa
tokoh lainnya dari Masyumi yang ikut dalam kabinet yang baru terbentuk pada
bulan September 1950.
Tugas utama dari kabinet Natsir ini adalah
menyelesaikan secepat-cepatnya masalah-masalah kelompok gerilya liar, terutama
sekali Negara Islam Indonesia dan TII-nya, maka dari program pemerintah yang
terdiri dari 7 pasal, kabinet mengutamakan pasal 5, yaitu menyempurnakan
angkatan dan reintegrasi anggota angkatan bersenjata serta kelompok-kelompok
gerilya yang berlebihan ke dalam masyarakat yang mana inti dan program ini
ditujukan kepada Negara Islam Indonesia beserta TII-nya.
Pada mulanya,
dalam merealisasi program ini, kabinet Natsir menempuh jalan halus dan luwes,
yaitu membujuk para gerilyawan TII untuk segera menyerah, pemerintah RIK
mengumumkan “Tawaran Amnesti” pada tanggal 14 November 1950, yang isinya memberi
kesempatan kepada gerilyawan untuk segera melaporkan diri kepada diri kepada
pejabat pemerintahan / kantor Distrik setempat mulai tanggal 28 bulan itu sampai
14 Desember, kepada mereka dijanjikan akan diterima menjadi anggota angkatan
bersenjata (TNI) atau memberikan mata pencaharian baru agar dapat hidup layak
dalam masyarakat. Juga secara pribadi Natsir berusaha meyakinkan
pimpinan-pimpinan Negara Islam Indonesia, perjuangan menuju berlakunya Hukum
Islam di Indonesia sudah mencapai tahap-tahap akhir yaitu dengan melalui
pemilihan ummat yang segera akan dilaksanakan, dimana dipastikan akan
dimenangkan ummat Islam, sedangkan Soekarno dan Hatta menjamin untuk
memberlakukan Hukum Islam di Negara ini apabila ummat islam mencapai suara
mayoritas dalam pemilihan umum nanti. Oleh karena itu tidak diperlukan lagi
tindakan kekerasan, yang menimbulkan kerugian, bahkan mungkin banjir darah di
kalangan ummat Islam sendiri.
Bersamaan dengan itu, pemerintah
mengeluarkan petunjuk-petunjuk terperinci mengenai prosedur penyerahan, takut
kalau-kalau para gerilyawan mencari peluang dari kesempatan itu untuk melakukan
penyerangan secara tiba-tiba atau secara diam-diam menggerakan pasukan mereka.
Maka pemerintah Republik memerintahkan bahwa mereka harus secara terbuka membawa
senjata yang mereka miliki, pasukan-pasukan yang mereka miliki, pasukan-pasukan
yang bergerak menuju kantor Distrik untuk menyerah, selanjutnya diharuskan
memakai tanda “Janur Kuning” disilangkan di badan untuk menunjukan ketulusan
hati mereka.
SM. Kartosuwiryo selaku imam Negara Islam Indonesia dan
panglima tertinggi TII menolak mentah-mentah “Tawaran Amnesti” tersebut dengan
argumentasi yang sangat kuat dan tidak bisa dibantah baik secara yuridis maupun
secara Historis, beliau menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia adalah
satu-satunya pemerintah yang sah di Indonesia. Bukan gerombolan liar /
gerombolan pengacau yang harus menyerahkan diri, justru Republik Indonesia
Kesatuan (RIK) yang tidak ada kelahirannya, sebab dia lahir dari perut
penjajahan dengan membawa seperempat sistem penjajahannya. Pada saat ini
Indonesia telah ada pemerintahan dan Negara yang sah yang telah di proklamirkan,
yaitu Negara Islam Indonesia. Dimana selama proses berdirinya tidak pernah
menyerah kepada pihak penjajahan, bahkan beliau sangat menyesalkan sekali.
Kenapa M. Natsir muslim ini mau diperalat oleh orang-orang sekuler dan
boneka-boneka koloni untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia yang nyata-nyata
telah memberlakukan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist Sholeh,
serta telah meminta pengorbanan ribuan syuhada.
Beliau juga menegaskan
bahwa Natsir bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi di Republik, tetapi dia hanya
sekedar alat dari pemimpin-pemimpin sekuler yang apabila sudah tidak diperlukan,
dia akan dicampakan kembali menjadi rakyat biasa. Karena itulah SM. Kartosuwiryo
segera menginstruksikan kepada seluruh jajaran TII untuk menanggapi, apalagi
menaati seruhan amnesti dari kabinet Natsir itu. Kebanyakan yang menyerahkan
diri akibat tawaran amnesti itu adalah dari gerombolan-gerombolan liar, seperti
organisasi yang bernama polisi gerilyawan, Barisan Berani Mati (BBM) yang
beroperasi didaerah Purwokerto juga dari gerombolan Brigade, Citarum devisi
bambu runcing yang beraliran sosialis, banyak yang menyerahkan diri. Sedangkan
dari pihak TII, hanya sebagian kecil saja yang terpengaruh oleh Amnesti ini,
yaitu yang berada di daerah-daerah terpencil sehingga sulit untuk berkomunikasi
dengan pimpinan pusat, karena terpengaruh oleh bujukan ulama-ulama setempat yang
memang di tugaskan oleh pemerintah, seperti dibeberapa daerah di Jawa barat dan
Jawa tengah bagian barat. Beberapa pasukan TII mendatangi kantor distrik untuk
menyerah, namun mereka tidak disambut baik, seperti yang telah dijanjikan dan
penguman amnesti, tapi mereka disambut pasukan TNI, yang siap untuk membantai
mereka dengan berondongan senjata dan sebagian lagi ada yang ditangkap kemudian
dijebloskan kedalam tahanan militer. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan
peristiwa “Janur Kuning”, yang merupakan pengkhianatan besar dari pasukan
sekuler TNI, dan secara tidak langsung M. Natsir pun ikut terlibat dalam
pengkhianatan ini yang kemudian menjadi lembaran hitam dalam perjalanan sejarah
Negara Islam Indonesia.
Namun demikian, tawaran amnesti dianggap
kegagalan besar bagi kabinet Natsir dalam merealisasikan program reintegrasi
terutama oleh kalangan militer yang merasa kecewa terhadap langkah ini. Mereka
menganggap jalan lunak itu tidak akan ada artinya lagi, sebab sebelumnya juga
sudah ditempuh jalan pendekatan dengan mengutus tokoh-tokoh ulama untuk
berunding dengan SM. Kartosuwiryo ternyata gagal total, diantaranya Wali
Al-fatah yang merasa yakin dapat menundukkan Hujjah-Hujjah (argumentasi) SM.
Kartosuwiryo. Segera menyanggupi diri untuk membujuk SM. Kartosuwiryo supaya
menghentikan kegiatan itu. Maka pada bulan mei 1950, dengan didampingi oleh tiga
orang pembantunya, yaitu tasik wira, Muslikh dan Zainuddin. Wali Al-fatah
berusaha mengadakan kontak hubungan dengan pimpinan-pimpinan TII di Cipanuyaran,
daerah lereng gunung Cakra buana untuk bertemu dengan SM.
Kartosuwiryo.
Namun rupanya Wali Al-fatah belum terbuka hatinya untuk
menerima kebenaran ini, karena dipandang terlalu berat resikonya, dia pun
kembali ke republik dengan membawa kekecewaan dalam akibat kegagalan usahnya.
Untuk menutupi kekecewaan ini dia menyatakan kepada pemerintah tidak ada
alternatif lain untik menghadapi gerakan Negara Islam Indonesia, kecuali dengan
aksi militer.
Memang demikina akhirnya, setelah himbauan Natsir gagal,
maka tentara Republik melancarkan “Operasi Merdeka”,yaitu operasi militer
terhadap TII dan berkas-berkas gerilyawan lainnya. Kurang lebih selama 8 bulan
saja M. Natsir bisa bertahan menjadi perdana mentri, sebab pada April 1951, dia
harus meletakkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman, juga seorang
politis dari kalangan Masyumi.
Sebab-sebab Tertangkapnya Imam
1. Diperolehnya keterangan dari pimpinan TII yang telah berada dalam tangan TNI
dan ini merupakan tipu muslihat TNI, sebab informasi yang diberikan meliputi
rahasia-rahasia pimpinan tertinggi TII dan rahasia jama’ah Umat Islam Bangsa
Indonesia.
2. Dihadirkannya masa dalam operasi tersebut (Pager
Betis).
22 April 1962 terjadi serangan langsung terhadap
pimpinan-pimpinan pusat Negara Islam Indonesia, 24 april 1962 serangan untuk
kedua kalinya terhadap pimpinan pusat Negara Islam Indonesia, akibatnya
rombongan terpencar-pencar Imam tertembak dan terluka dipantatnya. 4 juni 1962
Bapak SM. Kartosuwiryo dalam keadaan sakit parah tertangkap oleh kompi C
bataliyon 328 pada kujang II kodam VI / Siliwangi dibawah pimpinan Letda Suhanda
di kompleks Gunung Gebos malaya Bandung.
Pada bulan april 1962, setelah 1
tahun mengadan aksi perang dengan sandi barata yudha maka TII akhirnya merubah
taktik perang militer jihad menjadi perang gerilya ideologi di kota. Imam
akhirnya dengan sepenuh pertimbangan memutuskan dan menginstruksikan semua
kekuatan militer TII turun gunung, menyusun kembali kekuatan TII yang telah
melemah dengan kekuatan dan metode baru. Turun gunung bukan berarti menyerah
tetapi mengatur perjuangan secara militer dengan siasat taktik sivil (Q.S.
33/10, 8/15-16).
Penolakan Imam Untuk Menghentikan Jihad
Ketika
Imam SM. Kartosuwiryo sudah berada didalam tahanan Kodam VI / Siliwangi, maka
dilanjukan kepada beliau sebuah pernyataan tertulis yang dibuat oleh pimpinan
TNI yang harus ditanda tangani oleh beliau; pernyataan itu antara lain
:
1. Perintah menghentikan Jihad Fi Sabilillah.
2. Pencabutan
kembali proklamasi 7 – 08 – 1949.
Imam menolak mentah-mentah untuk
menandatangani pernyataan tersebut dengan menegaskan antara lain : bahwa
perintah Jihad itu adalah mutlak perintah Allah, jadi kalian tidak mempunyai
wewenang sedikit pun untuk menghentikannya.
Adapun masalah proklamasi
adalah, bahwa SM. Kartosuwiryo menolak untuk membubarkannya, beliau menyatakan
bahwasanya hanya bertugas mendirikan Negara Islam Indonesia dan tidak berhak
membubarkannya.
Pengadilan Imam
Pelaksanaan pengadilan militer
dilaksanaka terhadap Imam sebenarnya formalitas saja, sebab sejak sebelumnya
pimpinan TNI memang sudah membuat keputusan untuk mempertahankan hukuman mati
kepada beliau, adapun vonis yang dijatuhkan Jawa barat dan madura terhadap bapak
Imam Tertuang di dalam surat keputusan tanggal 16-8-1962 no X / III / 8/ 1962.
Sedang pelaksanaannya dilakukan pada jam 07.00 (pagi) tanggal 5 september 1962
dan jenazahnya dikebumikan di pulau Ubi Besar komplek kepulauan seribu. Perlu
dicatat disini maka “Petugas” Komandan pelaksana surat keputusan Ma’had per
Jawa, Madura tersebut di atas adalah Brigadir Jendral Umar Wira Hadi Kusuma
sebagai panglima kodam V / Jaya waktu itu.
Walaupun imam telah dibunuh,
namun perjuangan tetap dilanjutkan. Tetapi teknisnya dirubah (Q.S. 3/144), bila
kembali kebelakang, bubar (perjuangan terhenti), maka kembali kepada
Jahiliyah.
Terimakasih atas tulisannya...
BalasHapusBermanfaat sekali