بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 17 Desember 2012

Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal

Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal

Sabtu, 9 Juni 2012 04:10:36 - Oleh : admin - Dibaca : 1906
Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Kiai yang saya ta’dzimi. Di lingkungan saya ada seorang warga yang tergolong tua meninggal dunia. Kemudian ada seorang Ustadz mengarahkan keluarga almarhum agar menyediakan fidyah untuk puasa dan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya. Yang saya ketahui, fidyah hanya berlaku bagi puasa yang ditinggalkan dan tak mungkin di qadha, karena alasan udzur. Apakah memang ada fidyah bagi shalat yang ditinggalkan? Kalau ada, adakah dalil shahihnya?

Ahmad (Jakarta Utara)
Jawaban :
Wa’alaikumsalam wr. wb.
Bapak Ahmad yang saya hormati. Permasalahan yang Bapak sampaikan, tidak hanya terjadi di lingkungan anda saja, tapi juga di beberapa daerah lain. Mungkin fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Sedang fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama.
Ada Hadits riwayat Abu Dawud (No. 952), al-Tirmidzi (No.372), Ibnu Majah (No.1223), dan Ahmad. Yang artinya :
Dari Imran bin Husaini, ia berkata, Aku terkena penyakit wasir (yang membuat shalatku terganggu). Aku pun menanyakannya pada Nabi Muhammad Saw. Beliau menjawab, shalatlah sambil berdiri! jika tidak bisa, shalatlah sambil duduk ! jika masih tidak bisa, shalatlah sambil berbaring!.
Dari Hadits di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, atau berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka menurut pendapat yang mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.
Ada juga ulama yang berpendapat lain. Menurut pendapat ini, amal ibadah manusia itu terbagi dua. Ada yang dapat diwakilkan apabila yang besangkutan udzur, seperti sedekah dan haji dan ada juga yang tidak dapat diwakilkan, seperti masuk islam, puasa, shalat, dan membaca al-Qur’an. Untuk kategori pertama, pahalanya dapat sampai pada yang meninggal, meskipun yang melakukan orang lain. Sedang untuk kategori kedua, pahalanya tidak sampai pada yang meninggal. Sebagaimana halnya ketika dia hidup, amal ibadah itu tidak boleh diwakilkan. Hanya saja, untuk menebus shalat atau puasa yang ditinggal semasa hidupnya, diharuskan bayar fidyah, yaitu memberi makanan sebanyak satu mud (kurang lebih 1 liter) gandum (atau makanan pokok setempat) untuk satu hari yang dia tinggalkan semasa hidupnya.
Kesimpulan di atas berdasarkan Hadits riwayat al-Nasai dalam kitabnya al-Sunan al-Kubro (IV/43) dan al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga Ibn al-Qayyim dalam kitabnya al-Ruh (hal.239). Semuanya berasal dari Ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi,
“La yusholli ahadun ‘an ahadin, wa lakin yuth’imu ‘anhu makana kulli yaumin muddan min khintotin”
Artinya: “Seseorang tidak dapat menggantikan shalat atau puasa orang lain, tapi dia dapat menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud gandum.
Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf sebab bersandar pada seorang sahabat, Ibnu Abbas ra. Lebih lengkapnya silakan baca: Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, Dar ’Alam al-Kutub, Riyadh, 1418 H/1997 M, cet. Ke-3, hal. 664-676.
Dalam disiplin ilmu Hadits, Hadits mauquf dapat dihukumi marfu’ (nilainya sama dengan Hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw), jika matannya tidak berkaitan dengan masalah. Masalah ijtihadiyah, seperti hal-hal ghaib, turunnya al-Qur’an, dan lain sebagainya. Karenanya, Hadits mauquf dari Ibnu Abbas di atas dapat dihukumi marfu’. Sebab Ibnu Abbas tidak mungkin mengetahui sampainya pahala fidyah pada orang yang mati, kecuali dari Nabi Muhammad Saw sendiri, bukan dari ijtihatnya. Tapi, Hadits sebelumnya yang menguatkan pendapat pertama itu hadits marfu’. Dengan demikian, menurut kami, dalam segi kehujjahannya, Hadits marfu’ yang shahih tentu lebih utama dari pada Hadits mauquf yang dihukumi marfu’. Meskipun keduanya sama-sama memiliki sanad shahih.
Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka memiliki landasan dan dalil di atas. Tentu dengan catatan, Hadits Ibnu Abba itu tidak dapat dijadikan dalil kebolehan meninggalkan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat. Semoga ini menjadi bahan renungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar