بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 17 Desember 2012

Budaya Ghasab

Budaya Ghasab

Rabu, 8 Agustus 2012 11:48:21 - Oleh : admin - Dibaca : 653
Budaya Ghasab
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pak kiai yang terhormat, sekarang yang namanya budaya ghasab di dalam Pondok itu sudah merajalela. Padahal Allah telah berfirman dalam surat al-Nisa' ayat 29 yang artinya kurang lebih "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil (haram, riba, dan ghasab)". Pertanyaanya, bagaimana hukumnya ghasab tersebut?
Demikian pertanyaan saya, atas jawabannya terima kasih yang sebesar-besarnya. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.
Mas Muhammad Sulhin

Jawab:


Mas Sulhin yang hebat,

Dalam perspektif fiqih, banyak sekali pengertian ghashab. Tetapi yang mas Sulhin maksud ini pastilah pengertian yang umum di pesantren, yaitu memakai barang milik teman (biasanya sandal, sarung atau alat tulis) tanpa sepengetahuan yang empunya, tetapi tidak berniat memilikinya, hanya memakainya untuk sementara saja. Kalau berniat memiliki, namanya mencuri.
Para fuqaha' (ulama ahli fiqih) sepakat, bahwa hukum ghasab adalah haram dan pelakunya tentu berdosa. Hal ini didasarkan pada keumuman makna firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil..." (an-Nisa' 29) dan "Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil..." (al-Baqarah 188). Juga berdasarkan makna sabda Rasulullah SAW: "Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya tanpa kerelaan hati pemiliknya" (HR. ad-Daaruquthniy dari Anas bin Malik).
Menurut saya, kesadaran dan menyadari haramnya ghasab ini amat penting ditanamkan di kalangan santri agar mereka tidak meremehkan perilaku ghasab. Mengakui bahwa ghasab itu haram dan berdosa, itu teramat penting, walau kenyataan menunjukkan bahwa ghasab sudah menjadi semacam budaya di kalangan mereka. Lebih baik merasa berdosa dan minta maaf, daripada mencari-cari dalil untuk menghalalkannya sehingga merasa tidak perlu minta maaf karena merasa tidak berdosa, padahal sesungguhnya berdosa karena ghasab itu haram.
Memang ada pemeo atau gugon tuhon (ungkapan umum yang dipercayai benar, padahal tidak jelas sumbernya) yang menyatakan, bahwa ghasab itu boleh asal diyakini pemiliknya rela ('ulima biridlaahu, diketahui ridlonya). Tetapi ini pendapat siapa, dari kitab apa, tidak jelas, saya tidak menemukannya. Karena itu, menurut saya pemeo ini tidak usah dipopulerkan, agar tidak memicu perilaku bahkan budaya ghasab yang berkepanjangan. Benar bahwa jika pemilik barang itu benar-benar rela maka pelaku ghasab tidak berdosa. Tetapi tahunya benar-benar rela itu bagaimana. Yang sering justru terpaksa bilang tidak apa-apa (ga opo-opo) tetapi hatinya dongkol dan nggrundel, sehingga pelaku ghasab tetap berdosa, atau bahkan yang punya barang jadi berdosa karena bilang tidak apa-apa (karena tidak enak mau terus terang) padahal hatinya tidak rela. Dengan demikian, perilaku ghasab tetap tidak baik dan haram, sedang pelakunya tetap berdosa, kecuali pemilik barang yang dighasab benar-benar rela dan memaafkan.
Hukuman bagi pelaku ghasab adalah:
  1. Berdosa dan harus meminta maaf kepada pemilik barang yang dighasab
  2. Wajib mengembalikan barang yang dighasab kepada pemiliknya, jika barang tersebut masih utuh
  3. Wajib mengganti barang yang dighasab, jika barang tersebut rusak atau berkurang, kecuali pemiliknya merelakan dan tidak minta ganti rugi.

Wallaahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar